Pokam Cina Versus Pokam Aceh

Wednesday, May 20, 2009


Pokam Cina Versus Pokam Aceh

Malam tadi aku dan suamiku singgah di sebuah warung roti canai di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Sudah lama juga ritual jalan-jalan malam –hanya berdua- seperti ini tidak kami lakukan, karena jarangnya kami bertemu akibat pekerjaan yang mengharuskan kami LDR atawa Long Distance Relationship ☺, mumpung juga anak-anak masih di Medan. Aku sendiri baru sekitar 3 minggu ini berada di Banda Aceh untuk satu pekerjaan dan beberapa hari lalu, suamiku datang dari Bali, untuk mengunjungiku. Dari warung roti canai inilah, cerita tentang Pokam Cina Versus Pokam Aceh bermula.

Setelah kami duduk dan memesan roti canai, teh tarik serta es teh, mata kami tertuju pada sebuah pasfoto berukuran sekitar 10 inchi, yang di bingkai dan digantung di dekat meja kasir. Ternyata foto itu, adalah foto si pemilik warung yang bernama Zamzami- teman main sepeda semasa kecil suamiku ketika mereka sama-sama menjadi anggota genk sepeda ‘Gaburganik’ atawa Garuk B****t Gatal Nikmat .

Sumpah! Sampai detik ini aku tak pernah mengerti kenapa nama itu yang dipilih oleh para anggota genk sepeda mini yang disulap menjadi sepeda ala BMX – diberi palang dengan pipa besi yang dilas di bagian tengah sepeda hinga menyerupai sepeda BMX. Tapi menurut suamiku, genk sepeda ini mengalami pecah kongsi dan terbelah menjadi dua faksi. Suamiku dan Zamzami bersama beberapa teman lain kemudian membentuk genk sepeda lain bernama ‘Ganesha’ – yang terdiri dari gabungan genk sepeda anak-anak Blower-Setui-Neusu dan Peuniti (nama-beberapa kawasan di Banda Aceh).

Ingatan tentang genk sepeda itu membawa cerita pada sosok seorang laki-laki Cina- pemilik bengkel reparasi sepeda di kawasan Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Nama laki-laki Cina itu, POK AM (mudah-mudahan seperti ini tulisannya).

Meski ditulis terpisah –menurut suamiku- warga sekitar bengkel reparasi sepeda ini dan juga para kelompok genk sepeda acap memanggilnya dengan Pokam- tanpa nada dipisah. Tapi meski keturunan Cina, Pokam yang saat itu berusia sekitar 50-an sangat fasih berbahasa Aceh. Menurut suamiku, almarhum papanya pernah mengatakan kalau bengkel sepeda Pokam sudah ada sejak sebelum suamiku lahir ke dunia.

Konon, Pokam adalah ahli reparasi sepeda paling teliti, bahkan namanya sampai kini cukup melegenda bagi sebagian pencinta sepeda se-Banda Aceh dan perbatasan Aceh Besar. Nama Pokam kemudian dijadikan semacam brand bagi para ahli reparasi sepeda di daerah sekitar Setui, Blower, Neusu, Lamlagang sampai Lampeunerut. Mereka akan tetap menyebut mau ke ‘Pokam’ untuk menyebut jika hendak pergi ke bengkel reparasi sepeda meskipun bukan bengkel sepeda Pok Am yang dituju.

Bengkel reparasi sepeda Pokam berukuran sekitar 3 kali 6 meter. Ruangan yang warna cat dindingnya tak ketahuan lagi itu, menyimpan hampir ratusan sepeda tua seperti merk Raleigh, Gazele, Phoenix dan Birmingham Small Arm (BSA) juga sepeda-sepeda mini yang masih memakai keranjang di depannya. Sebagian sepeda-sepeda ini, biasanya milik pelanggan yang tidak diambil setelah sekian lama diperbaiki. Begitu banyaknya jumlah sepeda –sampai terkadang hanya menyisakan jalan masuk dan keluar bengkel seukuran satu badan bahkan kadang-kadang jika berjalan, posisi badan harus dimiringkan sedikit agar dapat lolos masuk ke bengkel- Pokam menumpukkan sepeda-sepeda sampai tiga tingkat bahkan lebih. Pokam sendiri memperbaiki sepeda di depan bengkelnya.

Pokam selalu membuka bengkel reperasi sepedanya pada jam 7 pagi. Jam buka bengkel reparasi sepeda ini terhitung lumayan cepat bagi sebagian usaha di Banda Aceh. Pasalnya, di jam itu, matahari baru bergerak naik. Mungkin, karena bengkel Pokam menghadap timur, sepertinya Pokam tak mau melewatkan hangatnya sinar mentari pagi.

Biasanya, setelah bengkel dibuka dan belum ada ‘pasien’, Pokam akan duduk di kursi rotan berbentuk bulat yang rendah sembari membaca koran pagi dan minum teh dari cangkir kalengnya. Kadang-kadang, Pokam akan ditemani Samee, sang isteri.

Ketika menemani suaminya di bengkel, Samee dengan ramahnya akan menyapa setiap orang -yang dikenalnya- melintas di depan bengkel mereka. Oya, Samee juga turut membantu ekonomi keluarga mereka dengan berjualan es batu dan es lilin rasa kacang hijau dan ketan hitam di bengkel milik mereka.

Saban hari, dengan ritual yang serupa, Pokam selalu memakai celana pendek dan kaus oblong putih merek Swan serta sepatu ala Bruce Lee. Sepatu dari bahan kain berwarna hitam ini sering juga disebut sepatu apek (e-nya dibaca seperti kita menyebut kakek).

Begitulah hari-hari Pokam. Jika ada orang datang membawa sepeda untuk diperbaiki, maka dengan sangat tekun dan teliti Pokam akan memperbaikinya. Ada satu kebiasaan Pokam yang dihapal mati oleh setiap pelanggannya, Pokam tak mau diajak bicara ketika sedang mengutak ngatik sepeda. Dia hanya mau bicara jika sedang tidak mengerjakan sesuatu. Jika sepeda sudah berhasil diperbaiki, Pokam biasanya akan menebar senyum paling manis yang dimilikinya pada pelanggannya- senyum yang membuat matanya ‘hilang’.

Kehidupan Pokam dengan pekerjaan yang dicintainya berjalan hampir sangat sempurna, sampai suatu hari, ketika seorang pria setengah baya juga membuka bengkel reparasi sepeda persis di sebelah bengkel sepeda Pokam. Pria pemilik bengkel sepeda baru itu bersuku Aceh, orang-orang kemudian menyebutnya dengan ‘Pokam Aceh’.

Pokam Aceh sebagai pemain baru bengkel reparasi sepeda sebenarnya tak disukai para pencinta sepeda. Pasalnya, selain para asisten Pokam Aceh kurang ramah, Pokam Aceh juga mematok harga yang lebih mahal dari Pokam Cina, selain itu tak boleh ngutang. Situasi yang berbalik 180 derajat dengan sifat bengkel Pokam Cina.

Tapi terkadang, para pecinta sepeda tidak punya pilihan, ketika spare part sepeda yang dibutuhkan cuma ada di tempat Pokam Aceh. Maklumlah, Pokam Cina tak punya cukup modal untuk membeli dan menumpuk spare part baru seperti yang acap dilakukan Pokam Aceh. Seperti misalnya ketika Pokam Cina harus bersusah payah dengan nafas yang tersengal menggenjot pompa tangan di antara kedua lututnya, Pokam Aceh mengisi angin sepeda pelanggan dengan mesin pompa angin berbahan bakar minyak.

Pokam Cina biasanya selalu berusaha untuk memperbaiki spare part yang rusak –dengan ilmu ala Mc Gyver- sekuat tenaga, jika benar-benar tak bisa dipakai lagi, barulah Pokam Cina menyarankan si pemilik sepeda untuk membeli spare part.

Kalau sudah begitu, pilihan jatuh ke Pokam Aceh. Karena para pecinta sepeda ini malas untuk mencari spare part ke Pasar Aceh –yang waktu itu masih bernama Pasar Jengek- karen agak jauh dari bengkel Pokam Cina. Jadilah mereka bergesar ke bengkel Pokam Aceh. Dan biasanya pula, Pokam Aceh hanya akan menjual spare partnya jika sepeda yang butuh spare part itu diperbaiki di tempatnya.

Begitulah, seiring waktu. Para pelanggan Pokam Cina berangsur-angsur mulai pindah ke bengkel sepeda Pokam Aceh. Tapi agaknya, gempuran Pokam Aceh tak kuasa dibendung. Apalagi sejak salah satu asisten terbaik Pokam Aceh yang masih terhitung keponakannya bernama A li atau biasanya dipanggil Ali panjang -karena bertubuh sangat jangkung- hengkang dari bengel Pokam dan membuka usaha serupa di rumah keluarga besar mereka – yang tak jauh dari bengkel Pokam Cina.

Nasib tak berpihak pada Pokam Cina. Akhirnya, laki-laki tua yang sudah mulai terbungkuk-bungkuk itu menutup bengkelnya. Selain mata yang sudah lamur, Pokam Cina juga tak punya anak lelaki yang bisa dijadikan penerus usaha bengkel sepeda. Tiga anak Pokam, semuanya perempuan. Suamiku tak tahu persis dikemanakan sepeda-sepeda yang ada di bengkel Pokam Cina. Cuma beberapa di antarnya akhirnya diberikan ke Ali panjang.

Suatu pagi, ketika suamiku melintas dalam perjalanannya ke sekolah, bengkel sepeda Pokam berganti menjadi salon dan usaha menjahit pakaian wanita yang dikelola oleh anak-anak Pokam. Sedangkan Pokam Aceh tak bertahan lama setelah itu. Pokam Aceh kemudian memindahkan bengkel reparasinya ke suatu tempat lain di Banda Aceh yang beberapa kali terlihat oleh suamiku. Sedangkan Pokam Cina, setelah menutup usahanya, terkadang masih suka terlihat mengayuh sepeda ontelnya di sore hari – dengan dandan khasnya plus topi pet. Sementara Samee- isteri Pokam Cina- sekitar tiga tahun lalu masih terlihat berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat kayunya. Tak lupa dia menyapa suamiku dengan senyum manis miliknya. “Dendy, apa kabar,” tanyanya.

Kata suamiku, tak banyak yang berubah dari jajaran-jajaran ruko di sekitar bekas bengkel reparasi sepeda Pokam Cina. Kecuali beberapa warung kopi yang cukup kesohor- di zaman itu- seperti warung kopi Bangladesh, Jabal Gafur dan Melati yang kini sudah tak ada lagi.

Warung roti canai tempat kami nongkrong semakin ramai meski waktu makin larut. Warung milik Zamzami ini dulunya –kalau tak silap kata suamiku- adalah bekas warung kopi Bangladesh atau warung kopi Jabal Gafur yang bersebelahan dengan warung kopi Melati.

Zaman terus bergulir, menggerus kehidupan masa lampau. Kami keluar dari warung roti canai dan berdiri persis menghadap warung kopi dengan nama ‘Sagoe Old Traford’ – yang berada di seberang jalan, persis di pojok simpang Blower. Dulu, bangunan warung kopi ini merupakan rumah bersalin dan yatim piatu.

Sepeda motor kami berjalan perlahan menyusuri Jalan Teuku Umar melintasi ruko bekas bengkel milik Pokam Cina- persis di seberang Simpang Seulawah. Ruko itu sudah tutup, tapi tidak dengan warung kopi Bali yang berada di ujung deretan bengkel Pokam Cina. warung kopi Bali -yang berjarak tiga dua ruko dari bekas bengkel Pokam Cina- termasuk warung kopi yang cukup dikenal karena sudah cukup lama.

Beberapa hari lalu, suamiku singgah di warung itu sekedar bertukar sapa dengan pemilik warung kopi Bali. Si pemilik warung kopi bertanya kenapa sudah lama tak singgah ke warungnya. “Aku sudah pindah ke Bali, Bang,” jawab suamiku.

Demi mendengar itu, Bang Im –demikian panggilan nama pemilik warung kopi Bali yang bernama lengkap Ibrahim- memperlihatkan air muka yang sulit dideskripsikan. Ibrahim berkata pada suamiku, “ Walau nama warung kopiku sejak dulu ‘Bali’ tapi aku belum pernah ke Bali,” ucapnya nelangsa. Ada perasaan haru bercampur lucu di dada suamiku ketika mendengar pengakuan Bang Im- sampai suamiku tak tega bertanya asal muasal nama warung kopi itu dibuat ‘Bali’.

Sepeda motor kami berjalan pelan-pelan menuju simpang tiga kantor PU. Jajaran ruko yang dulunya terbuat dari kayu kini berganti kulit, menjadi ruko-ruko beton. Bioskop Elang yang dulu berdiri di depan Pasar Seutui, juga sudah tak ada- berganti dengan bangunan gudang toko-toko kelontong milik pedagang Pasar Seutui. Sebelum menjadi gudang, di bekas Bioskop Elang ini sempat berdiri Toserba dan Es Teler 77 versi zaman baheula.

Setelah melewati Simpang Tiga Kantor PU –yang acap dinyanyikan para anak muda Aceh angkatan suamiku dengan memelesetkan satu syair lagu Melayu- suamiku tak berkata apa-apa lagi. Mungkin kepalanya dipenuhi kisah-kisah dari masa lalu…

0 comments: