Hukum Versus Rakyat Jelata

Thursday, June 4, 2009


Kasus yang menimpa Prita Mulyasari kini jadi buah bibir. Tak hanya para bloger, media, Komnas HAM dan para orang awam lainnnya yang mendukung ibu dua anak ini, para caprespun juga numpang ‘kampanye’. Terlepas dari semua itu, satu yang bisa kita lihat, bahwa hukum di negara Indonesia raya ini, tidak pernah berpihak pada rakyat jelata! Kasus ini kemudian mengingatkanku pada pengalaman kasus pencemaran nama baik yang menimpaku dan kasus pembunuhan terhadap kakekku.

Prita Mulyasari satu dari korban kesewenang-wenangan negara khususnya aparat kepolisian dan kejaksaan yang berbalut dan berlindung dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP. Sebagaimana yang kita ketahui, Prita mengirim email berisi curhatnya pada teman-temannya atas perlakuan RS Omni Interansional yang salah melakukan diagnosa dan cenderung melakukan malpraktik pada dirinya. Tak dinyana, surat elektronik yang kemudian difollow up oleh sebuah situs berita itu jadi meluas , RS Omni Internasional gerah.

Mereka kemudian mengadukan Prita ke polisi atas kasus pencemaran nama baik. Tak sampai di situ, perempuan malang ini segera dicokok dari rumahnya – dengan aksi seperti mencokok koruptor kelas kakap- dan penangkapan itu membuat Prita kemudian mendekam sekitar 3 minggu di penjara sebelum akhirnya mendapat status tahanan kota usai dikunjungi mantan Presiden Megawati. Ketika di penjara, ibu menyusui ini tak diizinkan memberikan susu bagi anaknya.

Prita dijerat dengan pasal pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang pencemaran nama baik, subsider pasal 310, 311 KUHP. Beginilah bunyi pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 –yang sungguh karet itu – “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Betapa konyolnya –kalau tak bisa dibilang sunggung naïf dan bodohnya- para pembuat undang-undang di negeri ini. Padahal dalam UUD 1945, setiap warga negara dijamin haknya untuk menyatakan dan mengeluarkan pendapatnya.

Kasus Prita Mulyasari mengingatkanku pada kasus pencemaran nama baik yang pernah aku alami medio 2006 silam. Namun kala itu, aku yang menjadi korban pencemaran nama baik. Kasusnya hampir mirip. Oleh dua orang jurnalis –yang menurut sebagian orang merupakan jurnalis yang punya nama di negeri ini- aku difitnah dengan tuduhan yang sangat keji tanpa alasan dan bukti sama sekali. Email yang berawal dari gosip warung kopi antar kedua orang jurnalis itu kemudian menyebar luas. Sebagai seorang jurnalis tentu saja email itu meresahkanku karena aku menilai email selain pencemaran nama baik juga sebagai character assasinnation.

Singkat kata, aku melaporkan kedua orang itu ke kepolisian. Meski salah satu dari jurnalis itu kemudian diperiksa polisi, kasus itu menguap begitu saja. Ketika aku mencoba untuk terus mem-follow up kasus ini, aparat kepolisian menyerah dan memintaku berdamai saja dengan dua orang jurnalis itu. Alasan mereka, kasus-kasus pencemaran nama baik itu cuma kasus ‘taik burung’, jadi tak usahlah dibesar-besarkan. “Damai sajalah dik,” begitu pesan polisi yang menanganinya. How comes?

Tapi rupanya ini soal setoran, kalau ada setoran ke oknum-oknum polisi itu, tentu lain ceritanya. Karena jika demikian adanya tentulah dua orang jurnalis yang melakukan pencemaran nama baik padaku itu bisa kubuat sampai meringkuk di sel penjara! Tapi apalah artinya itu apalagi bagiku jika ujung-ujungnya ke soal duit dan setoran. Saat itu aku hanya berharap, bahwa kedua orang jurnalis itu kelak akan mendapat karma atas perbuatan dan dosa-dosa yang dilakukannya padaku dan orang-orang lain!

Tanpa bermaksud menuduh para aparat penegak hukum –yang menangani kasus Prita Mulyasari- begitu. Tapi banyak kasus kasat mata yang bisa kita lihat, bahwa hukum acap berpihak pada orang-orang berduit, kalau ada duit maka siapapun bisa diseret ke meja hijau- jerat hukumnya bisa dirancang belakangan.

Kasus Prita Mulyasari juga mengingatkanku pada kasus pembunuhan yang terjadi pada kakekku di tahun 1981 silam, saat itu aku baru kelas 1 SD. Kakekku dibunuh di paviliunnya yang bersebelahan dengan rumah yang kami diami di Medan. Pembunuhan itu terjadi persis pada hari di mana papaku berangkat berlayar – papaku seorang nakhoda kapal tanker- dari Belawan. Papaku berangkat paginya dan pembunuhan terjadi malam harinya.

Tak ada tanda-tanda pintu atau jendela dirusak. Mayat kakekku ditemukan di kebun belakang rumah kami dalam kondisi yang mengenaskan. Kaki dan tangannya diikat. Kemudian diposisikan dalam keadaan jongkok. Mulutnya disumpal dengan baju kaos, kemudian tubuh tua itu diletakkan di dekat pohon salak yang menjadi batas antara tanah kami dan tanah tetangga.

Karena pintu dan jendela tidak rusak, dipastikan pembunuhnya tentulah orang yang dikenal almarhum. Dari berantakannya kamar kakek dan juga hilangnya beberapa barang berharga, motif pembunuhan itu sementara disebut perampokan. Apalagi tersiar kabar kakekku segera akan naik haji.Artinya, dia tengah punya duit banyak.Dan siapa perampoknya tentu orang yang dikenalnya. Banyaknya harta yang dimiliki kakekku sudah jadi rahasia umum di tempat kami tinggal. Maklumlah, kakekku yang tinggal sendirian di paviliunnya itu, seorang pengusaha kayu bakar dan minyak tanah yang cukup sukses.

Dan tahukah kalian siapa yang diduga menjadi salah satu tersangka utama? Umiku (ibuku-red). Dugaan itu dimulai dari tidak rusaknya pintu dan jendela, kemudian, aksi pembunuhan itu terjadi hanya beberapa jam setelah papaku berangkat berlayar.

Umiku bulak balik diintergosi meski tak ditahan. Papaku baru kembali setelah beberapa hari karena ketika kejadian sudah berada di tengah laut. Sungguh melelahkan saat itu bagi umiku. Beberapa kali aku ikut ke kantor polisi ketika umiku diperiksa. Maklumlah, kami masih kecil-kecil dan tak ada yang menjaga di rumah.

Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan umiku lolos dari tuduhan itu, walau para tekab –demikian sebutan untuk polisi berbaju preman zaman itu- tetap rajin menyatroni dan bertandang ke rumah kami. Kedatangan mereka tentu saja dengan satu juta alasan karena tak satu petunjukkan mereka dapat, kecuali salah seorang karyawan kakekku sejak kejadian itu tak pernah masuk kerja lagi.

Pernah menurut umiku, mereka mau memeras umiku dengan menuduh umiku pelakunya dan bisa dibebaskan jika punya sejumlah uang. Tapi karena memang tidak punya uang, umiku cuek saja. Umiku tak takut, karena memang tak bersalah. Dan syukurnya dalam pemeriksaan tak ada bukti yang bisa menjerat umiku menjadi pelaku pembunuhan.

Waktu terus berjalan, hingga tiga tahun kemudian, barulah si pembunuh tertangkap.
Ada cerita lucu sebelum penangkapan si pembunuh yang ditangkap ketika tengah berceramah – karena dia seorang ustadz. Si pembunuh yang bernama Zulkarnain itu, adalah karyawan kakekku yang tak pernah masuk lagi sejak kejadian tersebut. Entah kenapa polisi tak bisa mengendusnya saat itu meski nama Zulkarnain sudah disebut-sebut ketika umiku mulai diperiksa paska pembunuhan. Zulkarnain merupakan karyawan terbaik dan paling disayang oleh kakekku.

Beberapa hari sebelum penangkapan, seorang polisi datang ke rumah kami. Dia mengaku sudah menemukan si pelaku pembunuhan. Dan jika ingin si pelaku segera ditangkap dia minta sejumlah uang pada kami. Tapi umiku menolaknya, karena perkara menangkap adalah urusan polisi.

Dan tahukah kalian, bagaimana si polisi akhirnya bisa mengendus Zulkarnain? Si polisi pacaran dengan salah seorang bekas isteri Zulkarnain. Mantan isteri Zulkarnain rupanya mengetahui aksi pembunuhan itu. Mereka kemudian merancang sebuah konspirasi untuk melakukan pemerasan terhadap Zulkarnain dan juga keluargaku.

Setelah penangkapan, seorang ibu datang ke rumah kami. Dia bertanya apa benar keluarga kami membayar tekab jutan rupiah saban bulannya – saat itu angka 1 atau 2 juta cukup besar- pada para tekab untuk terus memburu pelaku pembunuhan terhadap kakekku. Tentu saja umiku membantah.

Rupanya, ibu itu adalah isteri Zulkarnain yang sekarang. Dia mengaku didatangi para tekab dan dimintai sejumlah uang. Para tekab itu bilang padanya, bisa saja dia meringankan hukuman untuk Zulkarnain asal mereka membayar sejumlah uang pada para tekab. Karena para tekab ini mengaku mendapat jatah uang saban bulannya dari kami untuk mengejar si pelaku. Jadi kira-kira, kalau si ibu bisa bayar, maka bisa cincailah. Si ibupun kemudian mengiba-iba pada umiku agar memberikan kesaksian yang bisa meringankan suaminya.

Tak sampai di situ, setelah kasusnya menggelinding ke pengadilan, jaksa kemudian mendatangi keluarga kami. Mereka bilang, mereka bisa menjerat Zulkarnain dengan pasal pembunuhan berencana agar hukumannya bisa lebih berat lagi, asal kami mau membayar sejumlah uang. Umiku tetap tak bergeming. Rupanya di dalam BAP, Zulkarnain menyebut tak merencanakan pembunuhan itu, dia marah dan kemudian khilaf ketika dia datang pada malam itu tapi tak diberi pinjaman sejumlah uang. Karena selama ini dia menanggap dirinya sudah cukup berbakti pada kakekku apalagi dia mendapat predikat sebagai karyawan paling disayang kakekku.

Aku tak ingat persis berapa vonis bagi Zulkarnain, tapi terbilang tahunan. Begitulah, hukum memang tak pernah berpihak pada rakyat jelata. Hukum hanya berpihak pada mereka yang punya rupiah!

foto : prita mulyasari dan anak-anaknya.

Read more...

Pokam Cina Versus Pokam Aceh

Wednesday, May 20, 2009


Pokam Cina Versus Pokam Aceh

Malam tadi aku dan suamiku singgah di sebuah warung roti canai di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Sudah lama juga ritual jalan-jalan malam –hanya berdua- seperti ini tidak kami lakukan, karena jarangnya kami bertemu akibat pekerjaan yang mengharuskan kami LDR atawa Long Distance Relationship ☺, mumpung juga anak-anak masih di Medan. Aku sendiri baru sekitar 3 minggu ini berada di Banda Aceh untuk satu pekerjaan dan beberapa hari lalu, suamiku datang dari Bali, untuk mengunjungiku. Dari warung roti canai inilah, cerita tentang Pokam Cina Versus Pokam Aceh bermula.

Setelah kami duduk dan memesan roti canai, teh tarik serta es teh, mata kami tertuju pada sebuah pasfoto berukuran sekitar 10 inchi, yang di bingkai dan digantung di dekat meja kasir. Ternyata foto itu, adalah foto si pemilik warung yang bernama Zamzami- teman main sepeda semasa kecil suamiku ketika mereka sama-sama menjadi anggota genk sepeda ‘Gaburganik’ atawa Garuk B****t Gatal Nikmat .

Sumpah! Sampai detik ini aku tak pernah mengerti kenapa nama itu yang dipilih oleh para anggota genk sepeda mini yang disulap menjadi sepeda ala BMX – diberi palang dengan pipa besi yang dilas di bagian tengah sepeda hinga menyerupai sepeda BMX. Tapi menurut suamiku, genk sepeda ini mengalami pecah kongsi dan terbelah menjadi dua faksi. Suamiku dan Zamzami bersama beberapa teman lain kemudian membentuk genk sepeda lain bernama ‘Ganesha’ – yang terdiri dari gabungan genk sepeda anak-anak Blower-Setui-Neusu dan Peuniti (nama-beberapa kawasan di Banda Aceh).

Ingatan tentang genk sepeda itu membawa cerita pada sosok seorang laki-laki Cina- pemilik bengkel reparasi sepeda di kawasan Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Nama laki-laki Cina itu, POK AM (mudah-mudahan seperti ini tulisannya).

Meski ditulis terpisah –menurut suamiku- warga sekitar bengkel reparasi sepeda ini dan juga para kelompok genk sepeda acap memanggilnya dengan Pokam- tanpa nada dipisah. Tapi meski keturunan Cina, Pokam yang saat itu berusia sekitar 50-an sangat fasih berbahasa Aceh. Menurut suamiku, almarhum papanya pernah mengatakan kalau bengkel sepeda Pokam sudah ada sejak sebelum suamiku lahir ke dunia.

Konon, Pokam adalah ahli reparasi sepeda paling teliti, bahkan namanya sampai kini cukup melegenda bagi sebagian pencinta sepeda se-Banda Aceh dan perbatasan Aceh Besar. Nama Pokam kemudian dijadikan semacam brand bagi para ahli reparasi sepeda di daerah sekitar Setui, Blower, Neusu, Lamlagang sampai Lampeunerut. Mereka akan tetap menyebut mau ke ‘Pokam’ untuk menyebut jika hendak pergi ke bengkel reparasi sepeda meskipun bukan bengkel sepeda Pok Am yang dituju.

Bengkel reparasi sepeda Pokam berukuran sekitar 3 kali 6 meter. Ruangan yang warna cat dindingnya tak ketahuan lagi itu, menyimpan hampir ratusan sepeda tua seperti merk Raleigh, Gazele, Phoenix dan Birmingham Small Arm (BSA) juga sepeda-sepeda mini yang masih memakai keranjang di depannya. Sebagian sepeda-sepeda ini, biasanya milik pelanggan yang tidak diambil setelah sekian lama diperbaiki. Begitu banyaknya jumlah sepeda –sampai terkadang hanya menyisakan jalan masuk dan keluar bengkel seukuran satu badan bahkan kadang-kadang jika berjalan, posisi badan harus dimiringkan sedikit agar dapat lolos masuk ke bengkel- Pokam menumpukkan sepeda-sepeda sampai tiga tingkat bahkan lebih. Pokam sendiri memperbaiki sepeda di depan bengkelnya.

Pokam selalu membuka bengkel reperasi sepedanya pada jam 7 pagi. Jam buka bengkel reparasi sepeda ini terhitung lumayan cepat bagi sebagian usaha di Banda Aceh. Pasalnya, di jam itu, matahari baru bergerak naik. Mungkin, karena bengkel Pokam menghadap timur, sepertinya Pokam tak mau melewatkan hangatnya sinar mentari pagi.

Biasanya, setelah bengkel dibuka dan belum ada ‘pasien’, Pokam akan duduk di kursi rotan berbentuk bulat yang rendah sembari membaca koran pagi dan minum teh dari cangkir kalengnya. Kadang-kadang, Pokam akan ditemani Samee, sang isteri.

Ketika menemani suaminya di bengkel, Samee dengan ramahnya akan menyapa setiap orang -yang dikenalnya- melintas di depan bengkel mereka. Oya, Samee juga turut membantu ekonomi keluarga mereka dengan berjualan es batu dan es lilin rasa kacang hijau dan ketan hitam di bengkel milik mereka.

Saban hari, dengan ritual yang serupa, Pokam selalu memakai celana pendek dan kaus oblong putih merek Swan serta sepatu ala Bruce Lee. Sepatu dari bahan kain berwarna hitam ini sering juga disebut sepatu apek (e-nya dibaca seperti kita menyebut kakek).

Begitulah hari-hari Pokam. Jika ada orang datang membawa sepeda untuk diperbaiki, maka dengan sangat tekun dan teliti Pokam akan memperbaikinya. Ada satu kebiasaan Pokam yang dihapal mati oleh setiap pelanggannya, Pokam tak mau diajak bicara ketika sedang mengutak ngatik sepeda. Dia hanya mau bicara jika sedang tidak mengerjakan sesuatu. Jika sepeda sudah berhasil diperbaiki, Pokam biasanya akan menebar senyum paling manis yang dimilikinya pada pelanggannya- senyum yang membuat matanya ‘hilang’.

Kehidupan Pokam dengan pekerjaan yang dicintainya berjalan hampir sangat sempurna, sampai suatu hari, ketika seorang pria setengah baya juga membuka bengkel reparasi sepeda persis di sebelah bengkel sepeda Pokam. Pria pemilik bengkel sepeda baru itu bersuku Aceh, orang-orang kemudian menyebutnya dengan ‘Pokam Aceh’.

Pokam Aceh sebagai pemain baru bengkel reparasi sepeda sebenarnya tak disukai para pencinta sepeda. Pasalnya, selain para asisten Pokam Aceh kurang ramah, Pokam Aceh juga mematok harga yang lebih mahal dari Pokam Cina, selain itu tak boleh ngutang. Situasi yang berbalik 180 derajat dengan sifat bengkel Pokam Cina.

Tapi terkadang, para pecinta sepeda tidak punya pilihan, ketika spare part sepeda yang dibutuhkan cuma ada di tempat Pokam Aceh. Maklumlah, Pokam Cina tak punya cukup modal untuk membeli dan menumpuk spare part baru seperti yang acap dilakukan Pokam Aceh. Seperti misalnya ketika Pokam Cina harus bersusah payah dengan nafas yang tersengal menggenjot pompa tangan di antara kedua lututnya, Pokam Aceh mengisi angin sepeda pelanggan dengan mesin pompa angin berbahan bakar minyak.

Pokam Cina biasanya selalu berusaha untuk memperbaiki spare part yang rusak –dengan ilmu ala Mc Gyver- sekuat tenaga, jika benar-benar tak bisa dipakai lagi, barulah Pokam Cina menyarankan si pemilik sepeda untuk membeli spare part.

Kalau sudah begitu, pilihan jatuh ke Pokam Aceh. Karena para pecinta sepeda ini malas untuk mencari spare part ke Pasar Aceh –yang waktu itu masih bernama Pasar Jengek- karen agak jauh dari bengkel Pokam Cina. Jadilah mereka bergesar ke bengkel Pokam Aceh. Dan biasanya pula, Pokam Aceh hanya akan menjual spare partnya jika sepeda yang butuh spare part itu diperbaiki di tempatnya.

Begitulah, seiring waktu. Para pelanggan Pokam Cina berangsur-angsur mulai pindah ke bengkel sepeda Pokam Aceh. Tapi agaknya, gempuran Pokam Aceh tak kuasa dibendung. Apalagi sejak salah satu asisten terbaik Pokam Aceh yang masih terhitung keponakannya bernama A li atau biasanya dipanggil Ali panjang -karena bertubuh sangat jangkung- hengkang dari bengel Pokam dan membuka usaha serupa di rumah keluarga besar mereka – yang tak jauh dari bengkel Pokam Cina.

Nasib tak berpihak pada Pokam Cina. Akhirnya, laki-laki tua yang sudah mulai terbungkuk-bungkuk itu menutup bengkelnya. Selain mata yang sudah lamur, Pokam Cina juga tak punya anak lelaki yang bisa dijadikan penerus usaha bengkel sepeda. Tiga anak Pokam, semuanya perempuan. Suamiku tak tahu persis dikemanakan sepeda-sepeda yang ada di bengkel Pokam Cina. Cuma beberapa di antarnya akhirnya diberikan ke Ali panjang.

Suatu pagi, ketika suamiku melintas dalam perjalanannya ke sekolah, bengkel sepeda Pokam berganti menjadi salon dan usaha menjahit pakaian wanita yang dikelola oleh anak-anak Pokam. Sedangkan Pokam Aceh tak bertahan lama setelah itu. Pokam Aceh kemudian memindahkan bengkel reparasinya ke suatu tempat lain di Banda Aceh yang beberapa kali terlihat oleh suamiku. Sedangkan Pokam Cina, setelah menutup usahanya, terkadang masih suka terlihat mengayuh sepeda ontelnya di sore hari – dengan dandan khasnya plus topi pet. Sementara Samee- isteri Pokam Cina- sekitar tiga tahun lalu masih terlihat berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat kayunya. Tak lupa dia menyapa suamiku dengan senyum manis miliknya. “Dendy, apa kabar,” tanyanya.

Kata suamiku, tak banyak yang berubah dari jajaran-jajaran ruko di sekitar bekas bengkel reparasi sepeda Pokam Cina. Kecuali beberapa warung kopi yang cukup kesohor- di zaman itu- seperti warung kopi Bangladesh, Jabal Gafur dan Melati yang kini sudah tak ada lagi.

Warung roti canai tempat kami nongkrong semakin ramai meski waktu makin larut. Warung milik Zamzami ini dulunya –kalau tak silap kata suamiku- adalah bekas warung kopi Bangladesh atau warung kopi Jabal Gafur yang bersebelahan dengan warung kopi Melati.

Zaman terus bergulir, menggerus kehidupan masa lampau. Kami keluar dari warung roti canai dan berdiri persis menghadap warung kopi dengan nama ‘Sagoe Old Traford’ – yang berada di seberang jalan, persis di pojok simpang Blower. Dulu, bangunan warung kopi ini merupakan rumah bersalin dan yatim piatu.

Sepeda motor kami berjalan perlahan menyusuri Jalan Teuku Umar melintasi ruko bekas bengkel milik Pokam Cina- persis di seberang Simpang Seulawah. Ruko itu sudah tutup, tapi tidak dengan warung kopi Bali yang berada di ujung deretan bengkel Pokam Cina. warung kopi Bali -yang berjarak tiga dua ruko dari bekas bengkel Pokam Cina- termasuk warung kopi yang cukup dikenal karena sudah cukup lama.

Beberapa hari lalu, suamiku singgah di warung itu sekedar bertukar sapa dengan pemilik warung kopi Bali. Si pemilik warung kopi bertanya kenapa sudah lama tak singgah ke warungnya. “Aku sudah pindah ke Bali, Bang,” jawab suamiku.

Demi mendengar itu, Bang Im –demikian panggilan nama pemilik warung kopi Bali yang bernama lengkap Ibrahim- memperlihatkan air muka yang sulit dideskripsikan. Ibrahim berkata pada suamiku, “ Walau nama warung kopiku sejak dulu ‘Bali’ tapi aku belum pernah ke Bali,” ucapnya nelangsa. Ada perasaan haru bercampur lucu di dada suamiku ketika mendengar pengakuan Bang Im- sampai suamiku tak tega bertanya asal muasal nama warung kopi itu dibuat ‘Bali’.

Sepeda motor kami berjalan pelan-pelan menuju simpang tiga kantor PU. Jajaran ruko yang dulunya terbuat dari kayu kini berganti kulit, menjadi ruko-ruko beton. Bioskop Elang yang dulu berdiri di depan Pasar Seutui, juga sudah tak ada- berganti dengan bangunan gudang toko-toko kelontong milik pedagang Pasar Seutui. Sebelum menjadi gudang, di bekas Bioskop Elang ini sempat berdiri Toserba dan Es Teler 77 versi zaman baheula.

Setelah melewati Simpang Tiga Kantor PU –yang acap dinyanyikan para anak muda Aceh angkatan suamiku dengan memelesetkan satu syair lagu Melayu- suamiku tak berkata apa-apa lagi. Mungkin kepalanya dipenuhi kisah-kisah dari masa lalu…

Read more...

Orang Rantai

Monday, March 30, 2009

Orang Rantai

Ingat pelajaran IPS waktu sekolah dasar dulu ( SD angkatan 80-an gitu hehehe) tentang kota Sawahlunto? Dalam pelajaran IPS itu, kita diajarkan bahwa salah satu kota di Sumatera Barat itu merupakan penghasil batubara. Titik. Tahu tidak, ternyata ada cerita yang cukup menyeramkan dari kota itu. Cerita tentang perbudakan para kuli tambang batu bara- cerita tentang Orang Rantai!

Begitulah pelajaran –khususnya sejarah- yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Tak pernah mengangkat cerita-cerita yang sesungguhnya harus diketahui para pelajar. Sehingga, kita seperti bangsa yang nyaris kehilangan keping-keping sejarahnya.

Siang kemarin aku bertemu dengan seorang teman yang sudah cukup lama tak bertemu. Mungkin kami bertemu terakhir kalinya sekitar 9 tahun lalu. Aku bertandang ke kantornya. Dia kini salah seorang pemilik majalah pariwisata yang cukup kesohor di Sumatera – Inside Sumatera (www.insidesumatera.com)

Dalam bincang-bincang kami, dia mengatakan baru pulang dari Sawahlunto, Sumatera Barat. Dari mulutnyalah kudengar cerita yang cukup buat bulu kudukku merinding.

Suatu masa di penghujung abad ke-19 -setelah seorang geolog Belanda W.H de Greeve menemukan tambang batubara di Sawahlunto pada tahun 1868 - para tahanan kriminal dan politik dari Sumatera dan Pulau Jawa dipindahkan. Mereka bukan dibuang atau diasingkan tapi lebih mengerikan daripada yang pernah mereka bayangkan. Para tahanan digiring ke kapal dan selanjutnya kapal membawa mereka ke Pelabuhan Emma Haven ( Teluk Bayur). Dari situ, para tahanan yang kaki, tangan dan lehernya diikat dengan rantai ini dikirim ke Sawahlunto. Mereka ditempatkan sebagai kuli tambang batubara Ombilin– kaki, tangan dan leher mereka tetap dalam kondisi dirantai.

Karena selalu dirantai inilah, mereka kemudian berjuluk ‘Orang Rantai’ atau kettingganger dalam bahasa Belandanya. Diceritakan temanku ini, Orang Rantai diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Parahnya lagi, mereka luput dari mata dunia. Karena tak ada orang seperti Van den Brand di Sumatera Barat. Van den Brand adalah seorang Belanda yang aktif membeberkan nasib para koeli kontrak di perkebunan di Tanah Deli –lewat tulisannya.

Orang-orang rantai nyaris tak tersentuh. Mereka sangat terasing, jauh dari cahaya matahari terperangkap dalam lorong-lorong gelap – dunia tanpa matahari, sebut temanku.

Dari catatan yang didapat, nama orang-orang rantai tak pernah disebut. Sebab, orang rantai hanya didata berdasarkan nomor registrasi. Nisan-nisan mereka jadinya hanya bertulis nomor-nomor registrasi. Nomor-nomor yang diambil dari nomor yang ditato di tangan mereka.

Keringat, darah dan air mata orang rantai memberikan aliran gulden yang tidak sedikit buat Belanda. Ibarat aliran sungai Ombilin yang tak pernah berhenti dan terus memberi nafas kehidupan. Perkembangan mesin-mesin uap di Eropa yang digawangi James Watt turut andil dalam percepatan aliran gulden ke kantong-kantong Belanda. Karena mesin-mesin uap itu membutuhkan bahan bakar murah sebagai pengganti bahan bakar kayu.

Tambang-tambang batubara ini telah pula menarik minat banyak orang untuk datang ke Sawahlunto. Selain Belanda, orang-orang Tionghoa juga datang mencari peruntungan. Kedatangan banyak bangsa dan suku ke kawasan ini dapat dilihat dari para keturunan yang hidup di Sawahlunto sekarang ini. Mulai dari suku Jawa, Batak, Tionghoa sampai peranakan Eropa yang bermata biru atau berambut pirang. Tapi kini, mereka menyebut dirinya sebagai ‘urang awak’.

Kalau ingin menelusuri lebih jauh jejak-jejak Orang Rantai, kunjungilah Sawahlunto. Lorong-lorong bekas tambang, kompleks pemukiman eks Orang Rantai telah ditata menjadi situs yang bersejarah dan dapat dilihat setiap para pelancong –karena dijadikan semacam museum. Kota yang memiliki target sebagai kota tujuan wisata dengan label kota tambang yang berbudaya ini terus berbenah.

“Kau akan seperti berada di Eropa,” tutur temanku. Soalnya, bangunan-bangunan zaman kolonial sampai hari ini masih berdiri megah dan dirawat dengan sangat baiknya. Rumah-rumah dan juga kantor-kantor yang dibangun semasa zaman kolonial itu telah bermetamorfosis menjadi kantor atau mess yang eksotis. Trotoar jalan dijaga agar tetap selalu terlihat bersih –tidak seperti umumnya museum atau kota wisata di Indonesia pada umumnya.

Tak hanya itu, para pelancong juga bisa mengunjungi Perpustakaan Adinegoro yang buka sampai jam 9 malam dan juga naik kereta api uap keliling kota. Saban hari, empat kali sehari, suara sirine jam kerja masih berbunyi, membawa ingatan pada masa lalu- masa di mana Orang Rantai memeras darah, airmata dan keringat untuk Belanda….

Read more...

Dan Luna Maya pun Berjilbab...

Monday, March 23, 2009

Kujejakkan kakiku di Banda Aceh setelah nyaris setahun kutinggalkan. Tak ada yang terlalu berubah dari ibukota Nanggroe Aceh Darussalam itu. Tapi, begitu aku melintasi jalan raya persis di depan swalayan Panti Pirak, aku tertawa –meski agak- masgul. Sebuah billboard berukuran 3 x 6 meter– terbentang dari kiri dan kanan jalan- ada foto Luna Maya dalam sebuah iklan operator selular. Di foto itu, Luna memakai baju muslim berwarna jingga, kepalanya bertutup jilbab berwarna putih.

Di beberapa tempat lainnya kulihat juga Dian Sastro, Asmirandah, Sabria –yang juga berpose untuk iklan operator selular – memakai jilbab dan kerudung. Tanpa bermaksud melecehkan, aku jadi semakin masgul melihat iklan-iklan itu. Negeri yang aneh, batinku.

Ingatanku terlempar pada Juli 2007 silam. Ketika itu, umbul-umbul iklan sebuah operator selular yang bergambar dua perempuan cantik yang mengamit tangan seorang cowok ‘dizalimi’. Wajah dua perempuan itu dicat hitam. Seorang yang bertanggungjawab dari operator selular itu mengaku padaku, kalau pengecatan itu terpaksa mereka lakukan. Pasalnya, ada teguran dari kelompok tertentu yang menganggap gambar pada umbul-umbul itu tidak menghormati hukum syariat yang berlaku di negeri ini.

Soal pengecatan wajah perempuan pada umbul-umbul ini akhirnya masuk koran lokal. Seorang nara sumber yang bertanggung jawab pada sebuah lembaga –yang dibuat untuk mengurus soal syariat di negeri ini – diwawancarai. Meski tak begitu persis tapi begini kira-kira komentar si nara sumber yang dikutip si wartawan.

“Perempuan dalam iklan itu berpakaian ketat dan tidak menutup aurat. Perempuan-perempuan itu juga menggandeng seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Itu melanggar syariat.” Demikian si nara sumber.

Sedih aku membaca komentarnya. Tak lama, umbul-umbul iklan operator selular itu dicopot.

Seiring itu, razia jilbab acap digelar. Para polisi syariat atau wilayatul hisbah yang sering disebut WH kemudian sangat rajin mendatangi tempat-tempat keramaian. Mereka mengejar dan menangkapi perempuan-perempuan tak berjilbab. Ironinya, WH yang melakukan razia adalah WH laki-laki. Dan entah kemasukan setan apa, biasanya WH laki-laki ini sangat beringas. Seperti ketika para WH menangkapi beberapa aktivis perempuan yang sedang santai di depan sebuah kamar hotel seusai pelatihan. Mereka digaruk para WH –karena kedapatan tak berjilbab.

Perempuan-perempuan aktivis ini dicokok bak penjahat kelas kakap. Tak diberi kesempatan untuk memakai kerudung atau jilbabnya ketika digiring ke mobil patroli –sebuah mobil dengan bak terbuka. Seolah-olah para WH ini ingin menunjukkan kekuasaannya, beginilah kalau tak berjilbab, kami tangkap dan kami pamer-pamerkan kalian ke seluruh kota dengan mobil patroli ini, biar malu. Duh!
Padahal, Nabi Muhammad begitu santun dan persuasif dalam menyebarkan agama Islam. Dalam sebuah cerita dikisahkan, nyaris sembilan puluh kali Muhammad mendatangi Abu Jahal untuk mengajaknya masuk Islam. Bahkan, meski dengan santun dan persuasifnya, sebelum mengajarkan hukum syariat pada umatnya, Muhammad perlu waktu belasan tahun untuk menanamkan aqidah kepada umatnya.

Seorang kawan berkata, pemberlakuan syariat Islam di negeri ini ibarat salah memberi obat pada seorang pasien. Begini analogi kawan itu. Ada seorang pasien sakit diabetes. Tapi oleh si dokter, dia didiagnosa sakit jantung. Jadilah si pasien diberi obat jantung. Bukannya malah sembuh, tapi si pasien jadi terkena penyakit lain karena salah minum obat.

Penerapan syariat Islam di Aceh, didasarkan atas UU No.44 tahun 1999 dan UU No.18 tahun 2001. Secara kasat mata, penerapan syariat Islam di Aceh lebih berkolerasi dengan aspek politik ketimbang keinginan murni rakyat Aceh. Pasalnya, pemberlakuan syariat Islam adalah salah satu upaya pemerintah untuk meredam konflik dan permintaan referendum rakyat Aceh.

Tak aneh kalau kemudian dalam banyak pelaksanaanya, syariat Islam dilaksanakan dan dipahami dengan sangat dangkalnya. Tengoklah bagaimana syariat islam hanya berkutat soal razia jilbab, penulisan nama sejumlah toko-toko dan kantor pemerintah dengan huruf arab melayu (arab jawi) – yang terkadang ditulis dengan salah. Para waria di salon-salon turut pula ditangkapi- entah dasar apa. Saban jumat, para WH juga merazia para laki-laki yang tak pergi salat Jumat.

Pemberlakuan hukum cambuk hanya berlaku kepada para penjudi kelas teri, pemabuk yang minum Topi Miring dan minuman kelas murah lainnya-yang cepat buat teler. Juga pada para perempuan dan lelaki yang belum menikah dan tertangkap di rumah-rumah kecil, kumuh dan miskin.

Tapi para penjudi kelas kakap, para peminum dan penjual alkohol di resto-resto, kafe dan hotel berbintang di Banda Aceh serta para perempuan dan lelaki yang belum menikah yang tinggal di rumah-rumah mewah- jadi mahkluk the antouchable.

Belum lagi pemisahan ruang kelas untuk anak laki-laki dan perempuan di beberapa sekolah, tapi tetap juga pada akhirnya mereka bercampur baur dan berhimpitan dalam kantin yang sesak, dan dalam labi-labi yang melaju kencang. Sementara, para guru laki-laki dan perempuan tetap bersama dalam satu ruangan.

Soal kebersihan tak usahlah dibicarakan. Masuklah ke kamar mandi di Masjid Raya Baiturrahman, ampun kotor dan baunya. Seorang teman baru pulang dari Tokyo. Dibilangnya begini. Kurasa hanya nol sekian persen orang Islam di Tokyo itu, tapi kotanya bersih luar biasa. Di sini, berlaku syariat Islam. Mayoritas Islam, dan suka kali berkoar-koar dengan jargon kebersihan sebagian dari iman. Tapi ampun, joroknya. Nanti dibilang tak beriman marah, katanya.

Read more...

Danau Toba, Riwayatmu Kini...

Monday, January 26, 2009


Suatu sore, aku membaca majalah pariwisata Inside Sumatera yang dibawa suamiku usai melakukan syuting di kawasan Sumatera Utara. Di salah satu halaman, aku agak kaget ketika menemukan sebuah fakta bahwa Danau Toba tidak termasuk daerah tujuan wisata dalam tahun kunjungan wisata 2008. Kok bisa, batinku.

Pada Harian Kompas edisi Minggu, 18 Januari 2009, aku kembali menemukan fakta lain yang juga cukup mengejutkan soal Danau Toba . Artikel yang ditulis Neta S Pane itu bercerita tentang Parapat, kota di pinggiran Danau Toba. Dalam tulisan yang diberi judul Berpetualang Jalan Kaki di Parapat, Pane mengungkapkan, dalam sepanjang hari petualangannya berjalan kaki di Parapat, hanya dia seorang saja yang menyusuri kota wisata ini.

Kedua fakta ini terus terang membuatku terkaget-kaget dan tidak habis pikir. Pasalnya, danau yang terjadi akibat letusan gunung berapi terbesar selama 25 juta tahun terakhir itu, merupakan danau terluas di dunia. Jadi, bagaimana mungkin tidak masuk dalam daftar kunjungan wisata 2008 Indonesia.

Tak hanya berpredikat sebagai danau terluas, Danau Toba juga merupakan kaldera terluas serta danau tertinggi di dunia. Apalagi, di tengahnya ada Pulau Samosir. Pulau yang berada di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut itu juga memiliki 2 danau, Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang. Belum lagi wisata spiritual, sejarah, arsitektur, dan kuliner yang mengelilinginya. Jadi, kurang apa lagi? Masak, tidak ada wisatawan yang mau mengunjunginya sembari berjalan kaki menelusuri pinggiran danau yang berhawa sejuk itu? Uf !

Hepeng do mangatur! Begitu kira-kira analisa yang ditelurkan Inside Sumatera tentang nasib Danau Toba kini. Ungkapan dalam bahasa Batak itu punya arti kira-kira, uanglah yang mengatur. Apa saja bisa kalau ada uang. Jadi, bagaimanalah mau elok kawasan Danau Toba, kalau orang-orang yang berduit dengan sesuka hati membangun hotel, rumah atau bahkan tiang jemuran pakaian di pinggir Danau Toba tanpa mengindahkan nilai-nilai estetika dari konsep tata ruang! Alamak.

Bukan itu saja, seluruh pinggiran Danau Toba telah bermetamorfosis menjadi bagunan kumuh dan tidak teratur, enceng gondok menutup sebagian besar permukaan danau, binatang ternak juga bebas berkeliaran yang mengganggu kenyamanan mata dan perasaan wisatawan.

Kualitas air juga menurun karena pellet dan juga masuknya berbagai jenis limbah dari perumahan, hotel dan pertanian sekitar danau. Belum lagi jeleknya pelayanan bagi wisatawan. Permukaan air danau juga sudah turun 3 meter akibat operasional PLTA Asahan. Ironinya, pembangkit tenaga listrik ini tak dinikmati oleh warga sekitar dan warga Sumatera Utara pada umumnya. Listrik dari PLTA ini cenderung digunakan untuk peleburan aluminium. Oh la la..

Jadi tak heran jika tak ada catatan resmi tentang jumlah kunjugan wisatawan saban tahunnya ke danau vulkanik ini, karena terlalu sedikit mungkin. Dan mungkin karena itu pula, Danau Toba tak masuk dalam daftar daerah wisata dalam tahun kunjungan wisata tahun lalu.

Konon, festival Danau Toba juga tak menarik minat orang bertandang ke sana. Karena acaranya tidak lebih dari dangdutan atau main layang-layang. Nasib-nasib..

Read more...

Tiren atawa Mati Kemaren !

Saturday, January 24, 2009


Mati kemaren- tiren! Tulisan ini bukan akan mengulas film horor berjudul sama. Bukan pula membahas ayam-ayam tiren yang banyak dijual di pasar tradisional dengan harga murah meriah. Ini tulisan soal tetanggaku, yang mati gantung diri beberapa waktu lalu.

Teriakan dan tangisan perempuan muda yang baru pulang bekerja dari salah satu vila di Nyuh Kuning, tiba-tiba memecah kesahduan suatu sore yang sahdu, di sebuah rumah kecil, kumuh dan sumpek di Banjar Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Bayi mungil yang sedari tadi tertidur pulas di sebuah dipan reot dalam rumah kecil, kumuh dan sumpek itu ikut terjaga karenanya, dan akhirnya ikut juga menangis- nyaris setengah berteriak.

Tetangga kiri kanan berdatangan. Suara teriakan bercampur tangis makin memecah belah langit sore. Orang-orang mulai berkerumun di depan rumah kecil, kumuh dan sumpek itu. Kumpulan orang-orang makin bertambah, seperti kumpulan awan-awan hitam yang menggumpal di langit sore di atas Banjar Nyuh Kuning.

Bagio –suami perempuan itu- ditemukan tewas gantung diri di kamar mereka yang sumpek. Dia mengikat lehernya dengan selendang yang disangkutkan di sela-sela tiang-tiang atap rumah. Tubuhnya persis berdiri di atas tempat tidur mereka yang lusuh. Bayi perempuan mungilnya yang baru berumur 25 hari tertidur pulas di kasur yang tipis- di tempat tidur lusuh itu. Mungkin, dia menggantung dirinya setelah menidurkan si bayi. Begitu spekulasi warga banjar.

Orang-orang terus berkerumun di depan rumah yang terjepit vila-vila mewah itu. Beberapa membawa perlengkapan upacara. Di Bali, orang yang mati tak wajar harus segera dikubur dan dibuatkan upacara, agar arwahnya tak mengganggu dan kembali ke rumah sebelum ngaben digelar!

Sekitar pukul 10 malam, tubuh kaku yang sudah diotopsi itu, bersatu dengan bumi diiringi rintik hujan. Sunyi.

Orang banjar (baca: dusun) menyebut, kematiannya mungkin karena penyakit epilepsi yang dideritanya. Tapi ada juga yang bilang, lelaki beranak tiga itu tak sanggup menahan derita akibat kemiskinan yang menderanya. Sudah lama sekali dia menganggur. Kehidupan mereka ditopang isterinya yang bekerja sebagai pembantu di sebuah vila di Nyuh Kuning, Ubud.

Kemiskinan memang bukan sebuah barang baru di Bali. Meski BPS Bali melansir angka kemiskinan turun sekitar 15 persen atau sekitar 2 juta lebih per Maret 2008. Kemiskinan tetap saja terpapar secara kasat mata.

Kenapa seseorang atau sekelompok masyarakat tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah satu pertanyaan yang acapkali muncul ketika berbicara tentang stratifikasi sosial.

Dari kubu yang pro kepada teori-teori modernisasi, menuding kemiskinan terjadi karena seorang individu atau anggota keluarga yang miskin itu memang malas bekerja atau karena mereka terus menerus sakit. Sebagian pendukung teori modernisasi juga cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari budaya yang tidak bisa bekerja keras, lemahnya etos kerja dan tidak memiliki etika wira usaha.

Sedangkan orang-orang strukturalis menyebut, sumber dari kemiskinan adalah struktur yang tidak adil dan ulah kelas sosial yang berkuasa dan kemudian melahirkan kemiskinan struktural (J.Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, 2004:178)

Lantas, Bagio harusnya dipandang dari teori yang mana?

Menurut Selo Sumarjan, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam lingkaran kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun.

Itulah yang terjadi hampir di seluruh Bali –juga Indonesia. Paradox in paradise, kata seorang teman.

Cobalah bertanya pada art shop atau toko-toko silver yang ada di sekitarr Bali, siapa pemilik mereka. Mungkin hanya nol koma nol sekian persen saja milik warga Bali. Selebihnya, milik warga asing dan juga orang-orang Indonesia yang berasal dari luar Bali. Tengok juga bagaimana banjar-banjar telah disulap menjadi vila-vila mewah hingga terkadang hanya menyisakan sawah hanya sebagai 'pemandangan' semata. Patung-patung yang dipahat dari kerasnya batu dan kayu serta lukisan-lukisan dibeli secara ijon - yang tentu saja dengan harga murah. Keserakahan kapitalisme telah mengurung orang-orang Bali dalam lingkaran kemiskinan yang tak habis-habisnya. Mereka hanya menjadi jongos di tanahnya sendiri, setelah berhektar-hektar tanah milik mereka dijual dengan 'harga murah' kepada para pemilik modal. Upah mereka sebagai jongos saban harinya, tak lebih banyak dari harga satu mangkuk salad yang dijual di resto atau kafe-kafe di Bali.

Bagio hanya satu dari sekian ratus ribu orang miskin di Bali yang akhirnya memilih mengakhiri hidupnya dari pada seumur hidup menanggung kemiskinan yang mendera yang hampir dapat dipastikan tak akan berubah sampai umurnya menjelang senja. Inilah salah satu sisi gelap Bali.

Kemewahan terpajang di ruang-ruang hotel berbintang dan juga vila-vila mewah di tengah sawah. Di baliknya, kemiskinan menggeliat-geliat di sudut-sudut banjar yang sepi, lembab dan terkadang meranggas.

keterangan foto:
beberapa anak miskin tengah menanti sajen seorang perempuan selesai berdoa di Pantai Lebih, Gianyar. selain berisi beragam bunga, sajen juga diisi dengan uang dan uang inilah yang dinanti anak-anak yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Foto : Raihan Lubis

Read more...

Akhirnya, Mulyono Menemukan Anaknya

Friday, January 23, 2009


Setelah perjuangan yang cukup panjang, dibantu PBHI dan juga teman-teman pers di Bali, Mulyono berhasil mendapatkan bayinya yang disita sang bidan. "Sekarang, kalau kerja saya bisa tenang, bu," akunya padaku. Syukurlah, alhamdulillah. Bersatu lagi keluarga itu....

Baca berita selengkapnya di link ini...

http://www.detiknews.com/read/2009/01/06/163702/1063977/10/sempat-disita-bidan,-raditya-akhirnya-dikembalikan-ke-orang-tuanya

http://209.85.175.132/search?q=cache:Ml2CgUE5LJoJ:www.thejakartapost.com/news/2009/01/08/baby-039confiscation039-case-resolved.html+mulyono,+raditya&hl=id&ct=clnk&cd=11&gl=id

Read more...