Orang Rantai

Monday, March 30, 2009

Orang Rantai

Ingat pelajaran IPS waktu sekolah dasar dulu ( SD angkatan 80-an gitu hehehe) tentang kota Sawahlunto? Dalam pelajaran IPS itu, kita diajarkan bahwa salah satu kota di Sumatera Barat itu merupakan penghasil batubara. Titik. Tahu tidak, ternyata ada cerita yang cukup menyeramkan dari kota itu. Cerita tentang perbudakan para kuli tambang batu bara- cerita tentang Orang Rantai!

Begitulah pelajaran –khususnya sejarah- yang diajarkan di sekolah-sekolah pada umumnya. Tak pernah mengangkat cerita-cerita yang sesungguhnya harus diketahui para pelajar. Sehingga, kita seperti bangsa yang nyaris kehilangan keping-keping sejarahnya.

Siang kemarin aku bertemu dengan seorang teman yang sudah cukup lama tak bertemu. Mungkin kami bertemu terakhir kalinya sekitar 9 tahun lalu. Aku bertandang ke kantornya. Dia kini salah seorang pemilik majalah pariwisata yang cukup kesohor di Sumatera – Inside Sumatera (www.insidesumatera.com)

Dalam bincang-bincang kami, dia mengatakan baru pulang dari Sawahlunto, Sumatera Barat. Dari mulutnyalah kudengar cerita yang cukup buat bulu kudukku merinding.

Suatu masa di penghujung abad ke-19 -setelah seorang geolog Belanda W.H de Greeve menemukan tambang batubara di Sawahlunto pada tahun 1868 - para tahanan kriminal dan politik dari Sumatera dan Pulau Jawa dipindahkan. Mereka bukan dibuang atau diasingkan tapi lebih mengerikan daripada yang pernah mereka bayangkan. Para tahanan digiring ke kapal dan selanjutnya kapal membawa mereka ke Pelabuhan Emma Haven ( Teluk Bayur). Dari situ, para tahanan yang kaki, tangan dan lehernya diikat dengan rantai ini dikirim ke Sawahlunto. Mereka ditempatkan sebagai kuli tambang batubara Ombilin– kaki, tangan dan leher mereka tetap dalam kondisi dirantai.

Karena selalu dirantai inilah, mereka kemudian berjuluk ‘Orang Rantai’ atau kettingganger dalam bahasa Belandanya. Diceritakan temanku ini, Orang Rantai diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Parahnya lagi, mereka luput dari mata dunia. Karena tak ada orang seperti Van den Brand di Sumatera Barat. Van den Brand adalah seorang Belanda yang aktif membeberkan nasib para koeli kontrak di perkebunan di Tanah Deli –lewat tulisannya.

Orang-orang rantai nyaris tak tersentuh. Mereka sangat terasing, jauh dari cahaya matahari terperangkap dalam lorong-lorong gelap – dunia tanpa matahari, sebut temanku.

Dari catatan yang didapat, nama orang-orang rantai tak pernah disebut. Sebab, orang rantai hanya didata berdasarkan nomor registrasi. Nisan-nisan mereka jadinya hanya bertulis nomor-nomor registrasi. Nomor-nomor yang diambil dari nomor yang ditato di tangan mereka.

Keringat, darah dan air mata orang rantai memberikan aliran gulden yang tidak sedikit buat Belanda. Ibarat aliran sungai Ombilin yang tak pernah berhenti dan terus memberi nafas kehidupan. Perkembangan mesin-mesin uap di Eropa yang digawangi James Watt turut andil dalam percepatan aliran gulden ke kantong-kantong Belanda. Karena mesin-mesin uap itu membutuhkan bahan bakar murah sebagai pengganti bahan bakar kayu.

Tambang-tambang batubara ini telah pula menarik minat banyak orang untuk datang ke Sawahlunto. Selain Belanda, orang-orang Tionghoa juga datang mencari peruntungan. Kedatangan banyak bangsa dan suku ke kawasan ini dapat dilihat dari para keturunan yang hidup di Sawahlunto sekarang ini. Mulai dari suku Jawa, Batak, Tionghoa sampai peranakan Eropa yang bermata biru atau berambut pirang. Tapi kini, mereka menyebut dirinya sebagai ‘urang awak’.

Kalau ingin menelusuri lebih jauh jejak-jejak Orang Rantai, kunjungilah Sawahlunto. Lorong-lorong bekas tambang, kompleks pemukiman eks Orang Rantai telah ditata menjadi situs yang bersejarah dan dapat dilihat setiap para pelancong –karena dijadikan semacam museum. Kota yang memiliki target sebagai kota tujuan wisata dengan label kota tambang yang berbudaya ini terus berbenah.

“Kau akan seperti berada di Eropa,” tutur temanku. Soalnya, bangunan-bangunan zaman kolonial sampai hari ini masih berdiri megah dan dirawat dengan sangat baiknya. Rumah-rumah dan juga kantor-kantor yang dibangun semasa zaman kolonial itu telah bermetamorfosis menjadi kantor atau mess yang eksotis. Trotoar jalan dijaga agar tetap selalu terlihat bersih –tidak seperti umumnya museum atau kota wisata di Indonesia pada umumnya.

Tak hanya itu, para pelancong juga bisa mengunjungi Perpustakaan Adinegoro yang buka sampai jam 9 malam dan juga naik kereta api uap keliling kota. Saban hari, empat kali sehari, suara sirine jam kerja masih berbunyi, membawa ingatan pada masa lalu- masa di mana Orang Rantai memeras darah, airmata dan keringat untuk Belanda….

0 comments: