Hukum Versus Rakyat Jelata

Thursday, June 4, 2009


Kasus yang menimpa Prita Mulyasari kini jadi buah bibir. Tak hanya para bloger, media, Komnas HAM dan para orang awam lainnnya yang mendukung ibu dua anak ini, para caprespun juga numpang ‘kampanye’. Terlepas dari semua itu, satu yang bisa kita lihat, bahwa hukum di negara Indonesia raya ini, tidak pernah berpihak pada rakyat jelata! Kasus ini kemudian mengingatkanku pada pengalaman kasus pencemaran nama baik yang menimpaku dan kasus pembunuhan terhadap kakekku.

Prita Mulyasari satu dari korban kesewenang-wenangan negara khususnya aparat kepolisian dan kejaksaan yang berbalut dan berlindung dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan KUHP. Sebagaimana yang kita ketahui, Prita mengirim email berisi curhatnya pada teman-temannya atas perlakuan RS Omni Interansional yang salah melakukan diagnosa dan cenderung melakukan malpraktik pada dirinya. Tak dinyana, surat elektronik yang kemudian difollow up oleh sebuah situs berita itu jadi meluas , RS Omni Internasional gerah.

Mereka kemudian mengadukan Prita ke polisi atas kasus pencemaran nama baik. Tak sampai di situ, perempuan malang ini segera dicokok dari rumahnya – dengan aksi seperti mencokok koruptor kelas kakap- dan penangkapan itu membuat Prita kemudian mendekam sekitar 3 minggu di penjara sebelum akhirnya mendapat status tahanan kota usai dikunjungi mantan Presiden Megawati. Ketika di penjara, ibu menyusui ini tak diizinkan memberikan susu bagi anaknya.

Prita dijerat dengan pasal pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang pencemaran nama baik, subsider pasal 310, 311 KUHP. Beginilah bunyi pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 –yang sungguh karet itu – “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Betapa konyolnya –kalau tak bisa dibilang sunggung naïf dan bodohnya- para pembuat undang-undang di negeri ini. Padahal dalam UUD 1945, setiap warga negara dijamin haknya untuk menyatakan dan mengeluarkan pendapatnya.

Kasus Prita Mulyasari mengingatkanku pada kasus pencemaran nama baik yang pernah aku alami medio 2006 silam. Namun kala itu, aku yang menjadi korban pencemaran nama baik. Kasusnya hampir mirip. Oleh dua orang jurnalis –yang menurut sebagian orang merupakan jurnalis yang punya nama di negeri ini- aku difitnah dengan tuduhan yang sangat keji tanpa alasan dan bukti sama sekali. Email yang berawal dari gosip warung kopi antar kedua orang jurnalis itu kemudian menyebar luas. Sebagai seorang jurnalis tentu saja email itu meresahkanku karena aku menilai email selain pencemaran nama baik juga sebagai character assasinnation.

Singkat kata, aku melaporkan kedua orang itu ke kepolisian. Meski salah satu dari jurnalis itu kemudian diperiksa polisi, kasus itu menguap begitu saja. Ketika aku mencoba untuk terus mem-follow up kasus ini, aparat kepolisian menyerah dan memintaku berdamai saja dengan dua orang jurnalis itu. Alasan mereka, kasus-kasus pencemaran nama baik itu cuma kasus ‘taik burung’, jadi tak usahlah dibesar-besarkan. “Damai sajalah dik,” begitu pesan polisi yang menanganinya. How comes?

Tapi rupanya ini soal setoran, kalau ada setoran ke oknum-oknum polisi itu, tentu lain ceritanya. Karena jika demikian adanya tentulah dua orang jurnalis yang melakukan pencemaran nama baik padaku itu bisa kubuat sampai meringkuk di sel penjara! Tapi apalah artinya itu apalagi bagiku jika ujung-ujungnya ke soal duit dan setoran. Saat itu aku hanya berharap, bahwa kedua orang jurnalis itu kelak akan mendapat karma atas perbuatan dan dosa-dosa yang dilakukannya padaku dan orang-orang lain!

Tanpa bermaksud menuduh para aparat penegak hukum –yang menangani kasus Prita Mulyasari- begitu. Tapi banyak kasus kasat mata yang bisa kita lihat, bahwa hukum acap berpihak pada orang-orang berduit, kalau ada duit maka siapapun bisa diseret ke meja hijau- jerat hukumnya bisa dirancang belakangan.

Kasus Prita Mulyasari juga mengingatkanku pada kasus pembunuhan yang terjadi pada kakekku di tahun 1981 silam, saat itu aku baru kelas 1 SD. Kakekku dibunuh di paviliunnya yang bersebelahan dengan rumah yang kami diami di Medan. Pembunuhan itu terjadi persis pada hari di mana papaku berangkat berlayar – papaku seorang nakhoda kapal tanker- dari Belawan. Papaku berangkat paginya dan pembunuhan terjadi malam harinya.

Tak ada tanda-tanda pintu atau jendela dirusak. Mayat kakekku ditemukan di kebun belakang rumah kami dalam kondisi yang mengenaskan. Kaki dan tangannya diikat. Kemudian diposisikan dalam keadaan jongkok. Mulutnya disumpal dengan baju kaos, kemudian tubuh tua itu diletakkan di dekat pohon salak yang menjadi batas antara tanah kami dan tanah tetangga.

Karena pintu dan jendela tidak rusak, dipastikan pembunuhnya tentulah orang yang dikenal almarhum. Dari berantakannya kamar kakek dan juga hilangnya beberapa barang berharga, motif pembunuhan itu sementara disebut perampokan. Apalagi tersiar kabar kakekku segera akan naik haji.Artinya, dia tengah punya duit banyak.Dan siapa perampoknya tentu orang yang dikenalnya. Banyaknya harta yang dimiliki kakekku sudah jadi rahasia umum di tempat kami tinggal. Maklumlah, kakekku yang tinggal sendirian di paviliunnya itu, seorang pengusaha kayu bakar dan minyak tanah yang cukup sukses.

Dan tahukah kalian siapa yang diduga menjadi salah satu tersangka utama? Umiku (ibuku-red). Dugaan itu dimulai dari tidak rusaknya pintu dan jendela, kemudian, aksi pembunuhan itu terjadi hanya beberapa jam setelah papaku berangkat berlayar.

Umiku bulak balik diintergosi meski tak ditahan. Papaku baru kembali setelah beberapa hari karena ketika kejadian sudah berada di tengah laut. Sungguh melelahkan saat itu bagi umiku. Beberapa kali aku ikut ke kantor polisi ketika umiku diperiksa. Maklumlah, kami masih kecil-kecil dan tak ada yang menjaga di rumah.

Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan umiku lolos dari tuduhan itu, walau para tekab –demikian sebutan untuk polisi berbaju preman zaman itu- tetap rajin menyatroni dan bertandang ke rumah kami. Kedatangan mereka tentu saja dengan satu juta alasan karena tak satu petunjukkan mereka dapat, kecuali salah seorang karyawan kakekku sejak kejadian itu tak pernah masuk kerja lagi.

Pernah menurut umiku, mereka mau memeras umiku dengan menuduh umiku pelakunya dan bisa dibebaskan jika punya sejumlah uang. Tapi karena memang tidak punya uang, umiku cuek saja. Umiku tak takut, karena memang tak bersalah. Dan syukurnya dalam pemeriksaan tak ada bukti yang bisa menjerat umiku menjadi pelaku pembunuhan.

Waktu terus berjalan, hingga tiga tahun kemudian, barulah si pembunuh tertangkap.
Ada cerita lucu sebelum penangkapan si pembunuh yang ditangkap ketika tengah berceramah – karena dia seorang ustadz. Si pembunuh yang bernama Zulkarnain itu, adalah karyawan kakekku yang tak pernah masuk lagi sejak kejadian tersebut. Entah kenapa polisi tak bisa mengendusnya saat itu meski nama Zulkarnain sudah disebut-sebut ketika umiku mulai diperiksa paska pembunuhan. Zulkarnain merupakan karyawan terbaik dan paling disayang oleh kakekku.

Beberapa hari sebelum penangkapan, seorang polisi datang ke rumah kami. Dia mengaku sudah menemukan si pelaku pembunuhan. Dan jika ingin si pelaku segera ditangkap dia minta sejumlah uang pada kami. Tapi umiku menolaknya, karena perkara menangkap adalah urusan polisi.

Dan tahukah kalian, bagaimana si polisi akhirnya bisa mengendus Zulkarnain? Si polisi pacaran dengan salah seorang bekas isteri Zulkarnain. Mantan isteri Zulkarnain rupanya mengetahui aksi pembunuhan itu. Mereka kemudian merancang sebuah konspirasi untuk melakukan pemerasan terhadap Zulkarnain dan juga keluargaku.

Setelah penangkapan, seorang ibu datang ke rumah kami. Dia bertanya apa benar keluarga kami membayar tekab jutan rupiah saban bulannya – saat itu angka 1 atau 2 juta cukup besar- pada para tekab untuk terus memburu pelaku pembunuhan terhadap kakekku. Tentu saja umiku membantah.

Rupanya, ibu itu adalah isteri Zulkarnain yang sekarang. Dia mengaku didatangi para tekab dan dimintai sejumlah uang. Para tekab itu bilang padanya, bisa saja dia meringankan hukuman untuk Zulkarnain asal mereka membayar sejumlah uang pada para tekab. Karena para tekab ini mengaku mendapat jatah uang saban bulannya dari kami untuk mengejar si pelaku. Jadi kira-kira, kalau si ibu bisa bayar, maka bisa cincailah. Si ibupun kemudian mengiba-iba pada umiku agar memberikan kesaksian yang bisa meringankan suaminya.

Tak sampai di situ, setelah kasusnya menggelinding ke pengadilan, jaksa kemudian mendatangi keluarga kami. Mereka bilang, mereka bisa menjerat Zulkarnain dengan pasal pembunuhan berencana agar hukumannya bisa lebih berat lagi, asal kami mau membayar sejumlah uang. Umiku tetap tak bergeming. Rupanya di dalam BAP, Zulkarnain menyebut tak merencanakan pembunuhan itu, dia marah dan kemudian khilaf ketika dia datang pada malam itu tapi tak diberi pinjaman sejumlah uang. Karena selama ini dia menanggap dirinya sudah cukup berbakti pada kakekku apalagi dia mendapat predikat sebagai karyawan paling disayang kakekku.

Aku tak ingat persis berapa vonis bagi Zulkarnain, tapi terbilang tahunan. Begitulah, hukum memang tak pernah berpihak pada rakyat jelata. Hukum hanya berpihak pada mereka yang punya rupiah!

foto : prita mulyasari dan anak-anaknya.

0 comments: