Tk Banjar Vs Montessori

Thursday, November 27, 2008

Pekan lalu…


“Tanggal 26 ini akan ada open house di montessorinya Qiu. Kalau ada waktu sebaiknya lu ikutan. Biar tahu bagaimana model studi di tempatnyanya Qiu. Kali aja minat”.

Begitu kata temanku yang tinggal di Kuta, ketika aku mengunjunginya pekan lalu. Ajakan temanku itu kuiyakan. Aku mengangguk, meskia tak yakin benar bisa hadir. Pendidikan untuk anak-anak kami adalah bahan obrolan yang paling utama saban kami bertemu.

Tapi temanku itu sekarang sudah lega. Karena akhirnya, Qiu anaknya, diterima di sebuah montessori yang cukup bergengsi di Kuta, Bali. Konon, montessori ini merupakan salah satu dari montessori terbaik yang ada di seluruh dunia. Jadi, jangan heran kalau uang sekolahnya perbulan mencapai Rp 500 ribu.

“Yang diwawancara untuk masuk ke sekolah itu, bukan cuma orang tua dan anaknya. Tapi juga kalo lu punya baby sitter kudu diwawancara. Karena semua yang terlibat dengan tumbuh kembang si anak harus punya visi dan misi yang sama soal bagaimana mendidik si anak. Jadi misalnya, untuk melatih anak mandiri, kita harus membiarkan si anak mengikat sendiri tali sepatunya, meski mungkin lama banget. Kita harus sabar. Dan si mbaknya juga begitu. Si mbaknya nggak boleh merusak tatanan ini dengan memakaikannya sepatu supaya jadi lebih cepat. Begitu.” Kata temanku ini panjang lebar, mengenai salah satu dari visi dan misi pendidikan montessori itu.

Di sela-sela perbincangan itu, temanku memutar rekaman video yang diambilnya ketika ada kontes debat di montessori anaknya itu.

“Lu nonton deh debantya. Temanya apakah kebun binatang itu perlu ditutup ato gak. Kalo ntar lu liat, niscaya lu akan malu, jadi ortu,” katanya.

“Malu gimana,” tanyaku.

“Waktu nonton debat ini, kita para orang tua jadi saling pandang dan ngerasa kemana aja selama ini. Kalah peka dengan anak-anak,” lanjutnya.

“Karena mereka bebas nilai. Nggak punya kepentingan. Jadi lebih jujur kali ya dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya,” sahutku.

Diceritakan temanku ini, kelas montessori anaknya ini, terdiri dari kelompok-kelompok umur yang berbeda: 3-6 tahun, atau 6-9 tahun, atau 9-12 tahun. Di tempat ini anak-anak yang lebih kecil belajar dengan meniru, dengan mengamati anak-anak yang lebih besar. Anak-anak yang lebih besar bukan hanya menjadi teladan; mereka mendapatkan manfaat dari kesempatan yang mereka miliki untuk melatih pengetahuan mereka sendiri dengan menolong teman-teman sekelas yang lebih kecil. Hal ini menggalakkan rasa komunitas yang akhirnya mendorong kerjasama.

Montessori menyebut ruang kelas pertamanya, casa dei bambini, atau rumah anak-anak.

“Di rumah untuk anak-anak ini, perabotnya dibuat berukuran anak, dan semua bahan ajar serta latihan secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak: fisik, emosi, sosial, intelektual dan spiritual. Anak-anak tetap berada di satu ruang kelas selama tiga tahun dan selama itu mereka mengembangkan perasaan memiliki yang kuat, rasa keakraban dan keamanan dengan lingkungan sekitar mereka, membantu membuat ruang kelas kelihatan seperti rumah sendiri,” promosi temanku panjang lebar.

Sedikitnya kata temanku, ada anak dari 17 negara di montessori itu.

Hari Minggu lalu….

Usai sarapan, Hia, anakku yang paling besar sudah siap dengan sepedanya. Dia menagih janji untuk ditemani main sepeda di lapangan bola di dekat rumah. Setelah beres-beres, kami berangkat. Sayangnya, ketika sudah sampai di lapangan, orang-orang sudah agak menyesaki lapangan, karena ternyata ada yang tengah bermain bola.

“Kita ke TK aja yuk, ma,” ajaknya.

TK yang dimaksud Hia, adalah sekolah Taman Kanak-kanak yang berada di sisi timur lapangan. TK yang hanya memiliki satu ruang kelas ini, merupakan satu-satunya TK di banjar (setingkat desa) tempat kami tinggal. Anak-anak yang bersekolah di TK ini umumnya anak-anak setempat, orang-orang Bali asli.

Biasanya, Hia suka diajak si mbok ke TK ini untuk meredakan tangisnya kala terpaksa kutinggalkan di rumah. Kata si mbok, tangis Hia akan reda kalau sudah mulai main luncuran atau jungkat jungkit yang ada di halaman TK itu.

Ketika sampai di halamannya, aku agak terperangah demi menyaksikan bangunan TK itu. Selama ini aku hanya melihatnya sepintas, maklumlah bangunan TK in iagak menjorok ke dalam, sekitar 15 meter dari jalan.

Di sisi kanan ruang kelas, ada empat ruang bekas kamar mandi yang meranggas. Tak beratap, setengah dindingnya yang dilapisi batu marmer, berlumut. Tanaman-tanaman liar tumbuh menyemak, terkesan angker. Agak bergidik juga aku.

Lebih parah lagi ketika aku menoleh ke arah jungkat jungkit, luncuran dan ayunan yang tersedia di halaman. Kondisinya sungguh menyedihkan, berkarat, cat yang sudah tidak jelas warnanya- nyaris tidak terurus. Ironinya lagi, dua ayunan dengan besi sebagai tali yang menghubungkan kursi duduknya dengan besi penyangganya, terlihat aneh. Bayangkan, dudukan ayunan itu sekitar 50 cm lebih dari tanah, rasanya susah sekali dijangkau tangan-tangan mungil yang akan menaikinya. Duh. Belum lagi bunyi ngek ngok akan terdengar begitu mainan-mainan itu disentuh.

Sekonyong-konyong, pikiranku teringat akan obrolan tentang montessori anak temanku itu. Betapa berbanding terbaliknya kondisi sekolah ini dengan montessori itu.

Masih terngiang cerita temanku itu. Ruang kelas mereka ada dua, Rose Class dan Garden Class. Masing-masing kelas memiliki pemandangan taman yang indah untuk bermain dan belajar di luar ruangan. Mereka menggunakan kebun untuk bermain, latihan seruling dan biola, atau mempelajari tanaman........

0 comments: