Bali untuk Siapa?

Thursday, November 27, 2008

Perjalanan pagi ini dari rumah di Nyuh Kuning kemudian melintasi Monkey Forest dan terus belok ke kiri Jalan Raya Ubud kemudian Tjampuhan dan berhenti di kawasan Sanggingan tidak seperti pagi-pagi yang lalu. Dalam perjalanan pagi ini, kepalaku dipenuhi pertanyaan, Bali untuk siapa?

Pertanyaan itu muncul ketika aku melintasi sebuah lapangan bola di dekat rumah di Nyuh Kuning, Ubud. Sehari-hari, lapangan yang berada persis di depan Sekolah Dasar (SD) Negeri 7 Mas, Nyuh Kuning ini dipakai untuk bermain bola kaki, layangan dan bersepeda oleh warga kampung atau juga para penghuni hotel,homstay, bungalow di sekitar Nyuh Kuning. Tak heran kalau perawatan lapangan bola desa ini terbilang teratur. Rumputnya secara rutin dipotong oleh pengurus desa, saban pagi murid-murid SD itu juga menyapu bagian depan lapangan yang ditumbuhi sebuah pohon beringin besar. Daun-daun beringin inilah yang disapu bersih oleh murid-murid SD itu, karena di bawah bohon, terdapat patung barong tempat meletakkan banten atau canang-sesajen.

Pagi tadi, di lapangan yang biasanya ramai dikunjungi warga pada sore hari itu, riuh sekali. Ketika aku dan motorku sudah berada agak persis di depan lapangan, barulah aku mengetahui kenapa lapangan itu menjadi terlihat riuh sekali di pagi ini. Rupanya anak-anak warga negara asing dari salah satu Taman Kanak-kanak (TK) internasional sedang berolahraga dan melakukan kegiatan bermain musik dengan drum djembe, didampingi sejumlah guru mereka. Kegiatan anak-anak warga asing ini ditonton ramai oleh murid-murid SD yang agaknya tengah jam rehat.

Murid-murid SD yang berseragam pramuka itu terlongok-longok demi melihat atraksi yang ada di depan mereka. Duh, mirisnya aku.

Harusnya, murid-murid SD itu juga bisa melakukan hal yang sama, apalagi lapangan bola itu persis di depan sekolah mereka. Terkadang, aku memang melihat mereka beraktifitas di sana. Tapi nyaris hanya olahraga bola kaki atau lari-lari keliling lapangan. Tak ada acara bermain djembe drum atau kemah-kemahan yang kerap dilakukan anak-anak dari sekolah internasional itu.

Secara ekonomi, kedua sekolah itu memang beda sekali. Harusnya memang tak disoalkan kenapa murid-murid SD negeri itu tak bisa memakai fasilitas lapangan itu secara semaksimal mungkin untuk kegiatan edukatif mereka. Harusnya yang menjadi soal adalah kenapa anggaran pendidikan tak pernah mendapat porsi besar sehingga murid-murid SD negeri ini tidak menjadi penonton di tanah mereka sendiri? Harusnya juga aku tak mempersoalkan ini. Apalagi ini di Bali gitu loh, kata seorang kawan.

Dii Bali, hal seperti ini lumrah adanya. Tak percaya? Pergilah ke salah satu sudut di Kerobokan. Aku mengutip sebuah reportase seorang kawan dari Kerobokan:

"Suatu pagi di Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Para ekspatriat mulai dari kakek-nenek hingga anak-anak berseliweran di jalan. Mereka berlaku seolah desa itu adalah kampung halaman mereka. Desa yang dulu terkenal dengan beras kerobokan yang pulen itu telah berubah. Tak lagi desa para petani.

Vila-vila supermewah dibangun di atas sawah di Kerobokan. Kadang-kadang, sepetak sawah diapit oleh dua vila, yang dipagarnya kebanyakan bertuliskan nama-nama dari dunia Barat. "Kalau tidak orang asing, ya dari Jakarta. Kami tak mungkin memiliki vila itu," kata Wayan Tegag (75), petani di Kerobokan. Pagi itu, Tegag tengah mencari rumput di belakang vila yang tanahnya dulu milik dia."

Gubrak!

diposting di facebook pada 26 September 2008

0 comments: