Tiren atawa Mati Kemaren !

Saturday, January 24, 2009


Mati kemaren- tiren! Tulisan ini bukan akan mengulas film horor berjudul sama. Bukan pula membahas ayam-ayam tiren yang banyak dijual di pasar tradisional dengan harga murah meriah. Ini tulisan soal tetanggaku, yang mati gantung diri beberapa waktu lalu.

Teriakan dan tangisan perempuan muda yang baru pulang bekerja dari salah satu vila di Nyuh Kuning, tiba-tiba memecah kesahduan suatu sore yang sahdu, di sebuah rumah kecil, kumuh dan sumpek di Banjar Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Bayi mungil yang sedari tadi tertidur pulas di sebuah dipan reot dalam rumah kecil, kumuh dan sumpek itu ikut terjaga karenanya, dan akhirnya ikut juga menangis- nyaris setengah berteriak.

Tetangga kiri kanan berdatangan. Suara teriakan bercampur tangis makin memecah belah langit sore. Orang-orang mulai berkerumun di depan rumah kecil, kumuh dan sumpek itu. Kumpulan orang-orang makin bertambah, seperti kumpulan awan-awan hitam yang menggumpal di langit sore di atas Banjar Nyuh Kuning.

Bagio –suami perempuan itu- ditemukan tewas gantung diri di kamar mereka yang sumpek. Dia mengikat lehernya dengan selendang yang disangkutkan di sela-sela tiang-tiang atap rumah. Tubuhnya persis berdiri di atas tempat tidur mereka yang lusuh. Bayi perempuan mungilnya yang baru berumur 25 hari tertidur pulas di kasur yang tipis- di tempat tidur lusuh itu. Mungkin, dia menggantung dirinya setelah menidurkan si bayi. Begitu spekulasi warga banjar.

Orang-orang terus berkerumun di depan rumah yang terjepit vila-vila mewah itu. Beberapa membawa perlengkapan upacara. Di Bali, orang yang mati tak wajar harus segera dikubur dan dibuatkan upacara, agar arwahnya tak mengganggu dan kembali ke rumah sebelum ngaben digelar!

Sekitar pukul 10 malam, tubuh kaku yang sudah diotopsi itu, bersatu dengan bumi diiringi rintik hujan. Sunyi.

Orang banjar (baca: dusun) menyebut, kematiannya mungkin karena penyakit epilepsi yang dideritanya. Tapi ada juga yang bilang, lelaki beranak tiga itu tak sanggup menahan derita akibat kemiskinan yang menderanya. Sudah lama sekali dia menganggur. Kehidupan mereka ditopang isterinya yang bekerja sebagai pembantu di sebuah vila di Nyuh Kuning, Ubud.

Kemiskinan memang bukan sebuah barang baru di Bali. Meski BPS Bali melansir angka kemiskinan turun sekitar 15 persen atau sekitar 2 juta lebih per Maret 2008. Kemiskinan tetap saja terpapar secara kasat mata.

Kenapa seseorang atau sekelompok masyarakat tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah satu pertanyaan yang acapkali muncul ketika berbicara tentang stratifikasi sosial.

Dari kubu yang pro kepada teori-teori modernisasi, menuding kemiskinan terjadi karena seorang individu atau anggota keluarga yang miskin itu memang malas bekerja atau karena mereka terus menerus sakit. Sebagian pendukung teori modernisasi juga cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari budaya yang tidak bisa bekerja keras, lemahnya etos kerja dan tidak memiliki etika wira usaha.

Sedangkan orang-orang strukturalis menyebut, sumber dari kemiskinan adalah struktur yang tidak adil dan ulah kelas sosial yang berkuasa dan kemudian melahirkan kemiskinan struktural (J.Dwi Narwoko-Bagong Suyanto, 2004:178)

Lantas, Bagio harusnya dipandang dari teori yang mana?

Menurut Selo Sumarjan, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam lingkaran kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun.

Itulah yang terjadi hampir di seluruh Bali –juga Indonesia. Paradox in paradise, kata seorang teman.

Cobalah bertanya pada art shop atau toko-toko silver yang ada di sekitarr Bali, siapa pemilik mereka. Mungkin hanya nol koma nol sekian persen saja milik warga Bali. Selebihnya, milik warga asing dan juga orang-orang Indonesia yang berasal dari luar Bali. Tengok juga bagaimana banjar-banjar telah disulap menjadi vila-vila mewah hingga terkadang hanya menyisakan sawah hanya sebagai 'pemandangan' semata. Patung-patung yang dipahat dari kerasnya batu dan kayu serta lukisan-lukisan dibeli secara ijon - yang tentu saja dengan harga murah. Keserakahan kapitalisme telah mengurung orang-orang Bali dalam lingkaran kemiskinan yang tak habis-habisnya. Mereka hanya menjadi jongos di tanahnya sendiri, setelah berhektar-hektar tanah milik mereka dijual dengan 'harga murah' kepada para pemilik modal. Upah mereka sebagai jongos saban harinya, tak lebih banyak dari harga satu mangkuk salad yang dijual di resto atau kafe-kafe di Bali.

Bagio hanya satu dari sekian ratus ribu orang miskin di Bali yang akhirnya memilih mengakhiri hidupnya dari pada seumur hidup menanggung kemiskinan yang mendera yang hampir dapat dipastikan tak akan berubah sampai umurnya menjelang senja. Inilah salah satu sisi gelap Bali.

Kemewahan terpajang di ruang-ruang hotel berbintang dan juga vila-vila mewah di tengah sawah. Di baliknya, kemiskinan menggeliat-geliat di sudut-sudut banjar yang sepi, lembab dan terkadang meranggas.

keterangan foto:
beberapa anak miskin tengah menanti sajen seorang perempuan selesai berdoa di Pantai Lebih, Gianyar. selain berisi beragam bunga, sajen juga diisi dengan uang dan uang inilah yang dinanti anak-anak yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Foto : Raihan Lubis

0 comments: