Catatan Mengenang Ersa Siregar...

Friday, December 5, 2008

tanah sudah tak merah lagi
rumput liar mulai meranggas, mengganggu nisan
bunga-bunga yang ditabur sudah resap jadi hara
dari sini, kukirim doa untukmu amang…
(raihan lubis)

Tiga Desember 2002 silam, di sebuah halaman sekolah yang terpencil di Kabupaten Bireuen, Aceh, serombongan jurnalis dari berbagai media yang telah usai meliput milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai gusar. Perjalanan pulang agaknya terhambat, meski semua barang telah dikemas dan sebagian jurnalis sudah naik ke kendaraan masing-masing.

“Kami tidak mau membohongi publik. Tolong itu dimengerti, Teungku.” Suara Ersa Siregar agak menggelegar. Jurnalis senior RCTI itu tetap tidak mau dipaksa oleh Sofyan Daud -yang kala itu menjadi juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)- untuk memanipulasi berita yang akan disiarkan.

Sedianya, upacara milad GAM memang digelar 4 Desember. Tapi pada milad GAM ke-26 itu, terpaksa digelar 3 Desember. Maklumlah, TNI semakin beringas paska pengepungan markas GAM di Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara. Pemerintah juga mengeluarkan ultimatum agar GAM tak menggelar miladnya. Takut akan serangan udara dan juga sweeping yang dilakukan TNI/Polri, GAM mengatur siasat. Hari upacara milad dimajukan satu hari. Tak ada yang salah memang dengan siasat ini. Sayangnya, para jurnalis yang datang meliput dipaksa untuk membuat berita jika upacara itu digelar pada 4 Desember.

“Kami tidak bisa mengatakan upacara ini digelar 4 Desember, Teungku. Karena memang upacara ini digelar tanggal 3 Desember. Teungku juga harus memahami profesi kami sebagai jurnalis,” Ersa Siregar tetap ngotot. Sebagai seorang yang dituakan di antara rombongan, Ersa mengambil alih posisi juru bicara jurnalis yang ada di situ.

Sialnya, beberapa jurnalis tak sependapat dengan Ersa. Rombongan jurnalis yang datang dengan beberapa kendaraan roda empat sehari sebelumnya itu mulai terpecah. Sebagian sependapat dengan Ersa, yang lainnya mengamini permintaan Sofyan Daud.

Perlahan, matahari mulai tergelincir ke barat. Suasana desa makin senyap. Anak-anak yang semula ramai di halaman sekolah sudah tak terlihat lagi, yang tinggal hanya rombongan jurnalis dan beberapa tentara GAM –yang tentu saja memanggul senjata laras panjang AK47, SS1 dan juga rakitan. Geliat mereka mulai menebar aroma tak bersahabat

“Bang, kita harus segera keluar dari tempat ini,” bisik seorang jurnalis pada Ersa Siregar. Ersa Siregar melihat ke arah kami, wajahnya menyiratkan ketegangan yang dalam.

“Tapi kita harus sepakat dulu soal ini,” katanya. Satu persatu ditatapnya wajah para jurnalis yang ada di sekitarnya. Kemudian,Ersa mengambil langkah mundur ke belakang.

Lalu, negosiasi diambil alih beberapa jurnalis asal Aceh - mereka bicara dalam bahasa Aceh. Suasana hening menyelimuti sebagian jurnalis yang menanti kesepakatan. Setelah beberapa saat, sebagian dari yang bernegosiasi kemudian mundur.

“Mereka setuju jika kita menyebut upacara tangal 3 Desember. Tapi buat tivi, radio, kantor berita dan juga media online harus disiarkan di atas jam 9 malam nanti. Upacara ini dimajukan karena untuk memperingati wafatnya salah satu pejuang Aceh, begitu kata mereka,” terang seorang jurnalis usai bersepakat dengan Sofyan Daud.

Semua jurnalis saling berpandangan. Ersa Siregar mengangguk, jurnalis lainnya mengamini. Sofyan Daud kemudian mendatangi kerumunan jurnalis, senyumnya sudah mengembang. Kesepakatan dicapai.

Begitulah, Amang. Kenangan itu masih suka melintas dalam kepalaku. Sikap tegas amang, masih terekam di ingatan.Apalagi jika sudah memasuki tangal 4 Desember- yang pernah menjadi hari yang paling ditunggu para jurnalis dan juga abang tunggu, karena itu juga hari ulang tahun abang.

Kenangan lainnya juga melintas-lintas, berloncatan dalam kepalaku.

“Eh, Boru Lubis, apa kabar?” Sapa amang begitu kita bertemu di sebuah masjid yang dijadikan kamp pengungsian di pinggir jalan Banda Aceh-Medan di Kabupaten Bireuen. Saat itu, Aceh tengah berstatus darurat militer.

“Sudah dari tadi kulihat abang. Tapi tadi abang masih on cam. Kapan abang datang.”

“Sudah hampir sebulan aku di sini. Oya, kami mau ke desa orang-orang yang mengungsi ini. Kalian mau ikut?” Aku dan beberapa rekan lainnya mengangguk. Mobil kami kemudian merayap perlahan memasuki sebuah desa yang cukup jauh dari masjid tadi, sekitar 10 km.

Kami menemukan desa yang nyaris kosong. Hanya beberapa ekor ternak yang terlihat. Mobil terus merayap pelan. Sampai tiba di ujung desa, di sebuah meunasah kecil. Ada beberapa keluarga terlihat di halaman dan juga dalam meunasah.

Begitu kami turun dari mobil, salak senjata terdengar bersahut-sahutan. Sebuah gerakan refleks, semua yang turun bertiarap. “Itu dari desa sebelah. Jauh dari sini, di balik bukit ini,” terang seorang pria paruh baya yang duduk di pintu masuk meunasah.

Usai melakukan wawancara, rombongan bergegas pulang. “Sebentar, aku salat dulu, sudah mau habis waktu ashar.” Semua jurnalis balik ke mobil, menunggu amang salat. Senjata dari desa seberang masih terus menyalak. Ada yang menggerutu waktu itu kenapa amang menyempatkan diri untuk salat di tengah suasana mencekam itu. Pasalnya, jika bisa berharap, rombongan tak bersirobok dengan pasukan TNI yang rajin patroli. Tapi, begitulah amang. Tak pernah melewatkan waktu ibadah, meski situasi begitu genting.

Keluar dari desa dan tiba di jalan Banda Aceh-Medan, mobil yang kami tumpangi memberi isyarat agar mobil amang berhenti. Aku bersama Dendy –yang waktu itu belum menjadi suamiku- turun dari mobil.

“Bang, kami balik ke Banda Aceh, mengejar waktu,” kataku berpamitan padanya.

“Jadinya kalian menikah? tanyanya. Aku dan Dendy tersenyum. “Kalau begitu, sekarang kau panggil aku amangboru ya Dendy. Jangan lupa undang aku,” ucapnya. Aku mengangguk pasti. Kita kemudian berpisah. Abang dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe, Aceh Utara.

Aku tak mengira kalau hari itu jadi perjumpaan terakhir kita. Karena pada suatu sore aku mendapat kabar abang disandera GAM di wilayah timur. Kupikir waktu itu, paling hanya sehari, dua hari, atau seminggu. Tapi nyatanya berbulan. Sampai di suatu siang di akhir Desember 2003, kudapat kabar abang tewas tertembak.

Sory Ersa Siregar yang akrab dipanggil "Bang Ersa" itu, tewas di tengah kontak tembak antara Batalyon 6 Marinir dan kelompok GAM berkekuatan delapan orang di Dusun Kuala Manihan, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, Senin (29/12). Masih ada perbedaan klaim waktu soal insiden yang menewaskan seorang anggota GAM dan seorang warga sipil beridentitas Ersa Siregar itu. Menurut pihak Komando Operasi di Lhokseumawe, kontak tembak di daerah rawa itu terjadi sekitar pukul 12.30 WIB. Kontak tembak itu sendiri terjadi sekitar 20 menit. Usai kontak tembak, pihak TNI melakukan penyisiran lokasi dan menemukan dua jenazah tersebut. Diidentifikasikan di Rumah Sakit Kesrem, Lhokseumawe, kemudian, korban sipil tewas itu memang bernama...ERSA SIREGAR.

Begitu petikan kabar yang menyebar. Aku merutuk, marah, sedih dan entah perasaan apalagi. Abang, amang, selamat jalan, semoga kematianmu tak sia-sia. Semoga sosokmu akan tetap dikenang, walau lima tahun sudah berselang…..

0 comments: