"Maaf, Bapak Sudah Telat."

Monday, December 22, 2008

Bukan main sedihnya hati Mulyono (29) dan Yetriyana Lopes (28) ketika mendapati bayinya sudah tidak bisa ditemuinya lagi di sebuah praktek bidan - tempat dulu bayi kembar mereka lahir. “Maaf, bapak sudah telat. Buat aja lagi yang lain,” ujar salah seorang petugas di praktek bidan itu ketika Mulyono dan isterinya menanyakan kabar salah satu bayi kembar mereka yang terpaksa dijadikan ‘jaminan’.

Tengah malam 28 Agustus 2008, lahirlah dua bayi laki-laki dari rahim Yetriyana Lopes. Perempuan asal Kupang itu melahirkan bayi kembarnya dengan berat masing-masing sekitar 2,2 kg. Kelahiran dua bayi yang merupakan anak kedua dan ketiga mereka ini sungguh menggembirakan. Tapi detik-detik kegembiraan itu segera berakhir esok harinya, ketika upah Mulyono sebagai penggali kabel telepon tak juga dibayar sang mandor. Bahkan sang mandor kabur sehingga Mulyono tak mendapat sepeserpun dari keringatnya. Padahal, gaji inilah yang diharapnya untuk dapat membayar ongkos melahirkan buah hatinya.

“Kami hanya punya uang satu juta. Padahal yang harus dilunasi hampir lima juta, bahkan terus membengkak hampir tujuh juta karena dua bayi dan isteri saya menginap di tempat praktek itu sudah hampir tiga minggu. Mereka terpaksa tinggal di sana, karena kami tidak punya uang untuk melunasi biaya melahirkan anak saya,” ujar Mulyono pagi tadi di rumahku.

Karena Mulyono takut biaya terus menggelembung, dia dan isterinya meminta keringanan untuk diiizinkan pulang sambil akan mengusahakan mencari uang membayar hutang mereka. Tapi si bidan tak menyetujui begitu saja. Dengan alasan takut Mulyono akan kabur, satu bayi mereka harus ditinggal sebagai ‘jaminan’. Pasangan yang tinggal di kawasan Sanur ini akhirnya setuju –karena tak punya pilihan lain.

Sebulan kemudian, uang untuk menebus bayinya tak juga didapat Mulyono. Beberapa petugas dari tempat praktek sang bidan mendatangi Mulyono. Mereka meminta agar Mulyono menandatangani surat perjanjian yang isinya menyatakan bahwa Mulyono menyerahkan anaknya tanpa paksaan dari siapapun. Penyerahan anak itu demi masa depan si anak. Kedatangan ‘tim’ ini tak mendapat angin dari Mulyono.

Tak mundur. Mereka datang lagi dan menyodori Mulyono kertas yang sama untuk ditandatangani. Mulyono tak bergeming. Kali ketiga, dengan sedikit tekanan, Mulyono menyerah. Ditandatanganinya surat bermaterai enam ribu perak tertanggal 15 September itu.

Sebulan kemudian, anak pertama Mulyono sakit. Dia membawa anaknya berobat ke tempat sang bidan, sembari ingin melihat anaknya yang dititipkan di situ. Tapi sayangnya, salah satu bayi kembarnya itu tak ada lagi di sana.

“Waktu saya tanya katanya sudah dibawa ke Jogja. Saya tanya lagi, katanya sudah dibawa ke Jawa. Saya jadi bingung, masak saya tidak boleh tahu siapa yang mengambil dan merawat anak saya,” katanya sembari menerawang.

“Iya, bagaimanapun kami ingin tahu kabar bayi itu,” timpal isterinya yang tengah menyusui bayi mungilnya.

“Kita harus memblow up kasus ini. Agar tidak menimpa keluarga miskin lainnya. Karena bisa saja dia bilang sudah diadopsi keluarga di Jawa. Tapi siapa yang tahu,” ujar Ibu Robin Lim. Sehari sebelumnya secara tidak sengaja, Ibu Robin bertemu dengan Mulyono dan isterinya di salah satu rumah yang dikunjungi Ibu Robin.

Ibu Robin Lim adalah bidan. Bersama sejumlah orang, perempuan asal Amerika ini mendirikan Yayasan Bumi Sehat di Nyuh Kuning, Ubud, Bali. Di yayasan ini, orang miskin yang melahirkan tidak dikenai biaya apapun alias gratis. Tetapi bagi yang mampu khususnya juga bagi para bule, harus membayar sesuai tariff yang ditentukan. Jadi, berlaku subsidi silang. Saban Senin pagi juga ada dokter anak yang bisa dibayar seikhlas hati. Dari Ibu Robin –yang kebetulan adalah tetangga dekatku- aku mengenal keluarga Mulyono.

Diceritakan Mulyono, demi mendengar penuturan Mulyono soal bayi kembarnya, Ibu Robin mendatangi praktek bidan itu. Sayangnya tak bertemu langsung dengan si empunya tempat praktek. Malamnya, Mulyono didatangi orang-orang dari tempat praktek bidan itu dan meminta Mulyono tak memperpanjang cerita ini, karena mereka bisa saja memperkarakan Mulyono sampai ke polisi. Terang saja, pria yang kini bekerja sebagai supir truk itu ketakutan.

Kisah bayi Mulyono memang bukan cerita baru di ranah persalinan di Indonesia. Beberapa kasus malah sudah dimeja hijaukan karena ternyata sindikat perdagangan bayi berada di balik semua kisah tersebut. Mulyono bukan korban pertama. Dan untuk menjadikan Mulyono korban terakhir dari praktek-praktek adopsi illegal dan juga kesewenang-wenangan berbagai tempat persalinan atas hidup seorang bayi, dibutuhkan kerja sama dan bantuan dari kita semua.

Pak Mulyono dan isterinya bisa dihubungi lewat Pak Sam –tetangganya- di nomor 081353102693. Sedangkan tempat praktek bidan tersebut beralamat di Jln Sedap Malam No.36 B, Kesiman, Denpasar.

0 comments: