Pohonnya Sudah Ditebang..

Saturday, August 23, 2008



Siang ini saya dan suami makan siang dengan menu mie ayam. Kami biasa menyantap mie ayam di Mie ayam Jakarta, Ubud. Letakknya persis di depan kantor BPD Ubud. Warungnya kecil, memang. Tapi rasanya lumayan, pas dengan lidah kami. Lidah Sumatera, begitu kami sering melabelkan soal lidah kami yang kadang-kadang suka nggak nyambung dengan taste menu-menu ala Bali. Selain itu, harga-harga di warung ini juga standar.

Sepanjang perjalanan menuju warung tersebut, kami ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Maklumlah, sudah hampir 3 minggu saya dan suami tidak bertemu, jadi banyak hal yang ingin kami ceritakan satu sama lain.

“Eh..eh…kita sudah kelewatan ya,” kata suami saya tersadar ketika kami sudah hampir di ujung jalan Raya Ubud.

“Eh iya,” kata saya.

Kemudian kami memutar, berbalik arah. Begitu sampai di depan warung, kami baru sadar apa yang membuat kami bablas. Pohon yang di depan warung -yang acap menjadi penanda- dan biasa tempat kami parkir motor sudah tidak ada lagi.

“Wah, pohonnya sudah ditebang. Pantas jadi nggak ngeh,” ujar suami saya sembari melihat bonggol pohon yang disisakan sekitar 20 cm dari tanah.

“Iya, karena upacara pelebon (ngaben) kemarin, pohon-pohon sepanjang jalan Raya Ubud ditebang,” terangku.

“Oh begitu. Tapi kenapa harus ditebang sampai dasar begini, apa tidak bisa hanya ranting-ranting yang menghalangi jalan,” katanya masih dengan nada agak bingung.

“Ya, ketika ngaben mencapai puncaknya, ruas jalan Raya Ubud (lebarnya sekitar 5 meter) yang jadi jalur arak-arakan jenazah dari Puri Agung Ubud menuju Setra (pemakaman) Dalam Puri Agung memang disesaki orang. Menurut panitia yang dirilis koran, jumlah yang hadir ada sekitar 300 ribu orang. Keluarga Puri, warga setempat, warga Bali, turis domestik dan mancanegara. Re aja hampir terinjak-injak waktu bade – menara untuk jenazah dengan tinggi 28,5 meter dengan berat 11 ton- mulai diarak. Mungkin panitianya memperkirakan pohon-pohon yang ada bisa menghambat prosesi,” terangku. Suamiku melihatku dengan wajah agak bingung.

“Kemaren itu ngaben paling besar yang digelar sejak tiga dasa warsa terakhir ini. Ngaben besar seperti ini digelar pada tahun 1979, waktu itu kremasi untuk seniman masyur Ubud yang juga masih keluarga Puri (kerajaan),” lanjutku.

“Apa memang pohonnya mengganggu sekali dalam prosesi kemarin. Kayak apa sih ramenya? tanya suamiku lagi di sela-sela kami memesan makanan.

“Nggak kebayang deh. Karena selain dua bade, juga ada dua ekor patung lembu dan seekor nagabanda yang ikut diarak dalam prosesi itu. Patung naga hanya muncul pada prosesi keluarga puri yang dituakan,” jelasku mengutip salah satu koran nasional yang kubaca sehari setelah acara tersebut. Suamiku mangut-mangut sambil menyeruput minuman yang sudah tersaji di meja.

“Wah, kasihan ya pohon-pohonnya. Kalau lihat pohonnya kayaknya umurnya ada 8 atau 10 tahun gitu kan ya,” katanya mengingat-ingat. Aku mangut-mangut mengiyakan. “Mudah-mudahan segera ditanam pohon baru ya,” pungkas suamiku sambil menyendokkan mie ke mulutnya.

“Iya,” jawabku lirih.

Ketika pulang, iseng-iseng aku menghitung pohon yang ditebang, sedikitnya ada 12 pohon.

p.s : sebelumnya tulisan ini sudah diposting di blogku yang lain pada Juli lalu.

0 comments: